Sumber Foto: Casandra Hess
Banyak di antara kita yang merasakan keresahan. Setiap waktu kita didera pertanyaan hidup yang seringkali menjengkelkan. Tentang masa depan yang kira-kira kok semakin suram, hubungan asmara yang cukup problematik, skripsi yang tidak kunjung selesai, kebutuhan hidup yang jauh dari kata terjangkau, atau berbagai kemungkinan yang hadir dan bisa saja mendepak kita dari posisi yang saat ini kita kira aman-aman saja. Setiap hari, kita dipaksa hidup dalam berbagai jenis keresahan yang muncul akibat dari berbagai macam hal yang tidak bisa kita pastikan. Harapan-harapan yang barangkali jadi pijakan kita untuk terus melangkah maju, terkikis seiring waktu dengan munculnya berbagai informasi yang tiba-tiba muncul lewat obrolan sehari-hari, atau bahkan sebagai notif di layar HP kita.
Sayangnya, banyak informasi itu yang tidak relevan untuk dipikirkan. Berbagai macam hal dan masalah-masalah yang kita jumpai sehari-hari membuat banyak dari kita merasa stres. Informasi yang kita dapat, yang dengan mudah kita akses seolah membuat kepala dipenuhi prediksi-prediksi suram tentang masa depan. Banyak dari kita merasa semakin cemas. Tapi dari berbagai persoalan yang tiba-tiba datang dan pergi, pernahkah kita memikirkan tentang bagaimana fenomena ini bisa terjadi?
Laporan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada tahun 2022, menunjukan angka yang cukup mengkhawatirkan. Survei kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja 10 – 17 tahun di Indonesia, menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental. Angka ini setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7%, diikuti oleh gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5%. Data ini korelatif dengan berbagai kasus bunuh diri, di tahun yang sama terdapat 900 kasus bunuh diri di Indonesia. Stres dan depresi yang berkepanjangan, kurangnya dukungan dari lingkungan dan berbagai macam masalah yang timbul karenanya membuat banyak orang perlu untuk mempelajari kembali akar-akar masalah yang di hadapi. Menurut Emile Durkheim yang ditulis dalam karyanya berjudul Le Suicide (1897) menjelaskan bahwa seseorang yang melakukan bunuh diri selalu terkait erat dengan faktor-faktor sosial masyarakat.
Secara umum, gangguan kecemasan muncul karna beberapa faktor seperti faktor genetik, biologis (senyawa kimia dalam otak), lingkungan dan stres. Untuk yang terakhir, prevalensi kejadian stres menurut WHO pada tahun 2019 tergolong cukup tinggi, yaitu dialami oleh lebih dari 350 juta penduduk di dunia dan berada di peringkat ke-4 penyakit di dunia. Di Indonesia, hasil penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia pada tahun 2021 menemukan bahwa mayoritas remaja dan dewasa muda berusia 16-24 tahun memasuki periode kritis kesehatan mental. Lebih lanjut penelitian tersebut menemukan bahwa hampir 96% remaja dan dewasa muda mengalami gejala kecemasan (anxiety) dan 88% diantaranya mengalami gejala depresi.
Tsunami Stres dan Kaitannya dengan Problem Ekonomi Politik
Problem terkait tsunami stres ini tidak muncul secara tiba-tiba. Problem ini beriringan dengan berbagai macam faktor seperti pola asuh, lingkungan dan berbagai hal lainnya. Yang paling banyak berpengaruh, adalah tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang cukup rendah. Dari problem kesejahteraan, kita menemukan berbagai macam fenomena yang cukup kompleks, berkaitan dengan minimnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, keamanan, lingkungan, dan pemenuhan kebutuhan hidup yang layak. Kompleksitas ini secara dialektis melahirkan berbagai macam ketimpangan yang hanya dapat dibaca melalui analisis klas. Dalam konsepsi teori Marxis, klas terbagi menjadi dua (2). Klas borjuis atau pemodal, dan klas proletar atau buruh. Klas borjuis adalah klas yang mengeksploitasi klas proletar untuk mendapatkan nilai lebih.
Proses penghisapan klas borjuis pada klas proletar menghasilkan problem ketimpangan atas hak milik yang cukup signifikan. Dalam proses eksploitasi yang dilakukan oleh klas borjuis, seringkali mereka melibatkan instrumen lain yang disebut "Negara" untuk memperlancar jalannya roda produksi guna kepentingan klas mereka sendiri. Keberpihakan instrumen yang disebut "Negara" ini yang kemudian banyak berperan penting dalam menentukan bagaimana distribusi kesejahteraan dapat berjalan. Jika "Negara" dan sistem pemerintahannya berpihak pada klas borjuis, maka bisa kita temukan berbagai macam kebijakan yang hanya melegitimasi keberadaan kaum pemodal alih-alih kita berharap sebaliknya.
Di Indonesia, ketimpangan yang disebabkan oleh cengkraman kaum borjuis terhadap negara melahirkan berbagai macam masalah seperti komersialisasi pendidikan, minimnya akses tehadap kesehatan, hukum, bahkan institusi keagamaan seringkali juga digunakan sebagai sarana hegemoni untuk melegitimasi keberadaan kaum borjuis. Dari sini kita bisa bayangkan bagaimana soal kecemasan ini berawal, masalah sistemik yang seringkali kita normalisasi ternyata berperan aktif dalam memproduksi kecemasan. Berbagai macam kebijakan yang berpihak terhadap klas borjuis memaksa kita secara ketat berkompetisi untuk sekadar bertahan hidup.
Kompetisi ini menciptakan banyak kecemasan, soal persaingan tenaga kerja dan minimnya angka ketersediaan lapangan kerja karena efisiensi alat produksi, pendidikan yang mahal dan produk penganggurannya, bagi mereka yang bekerja juga masih potensial cemas karna ancaman PHK sewaktu-waktu yang dilegitimasi dalam Undang-Undang Cipta Kerja, bagi yang sakit mereka perlu banyak menghabiskan uang karna mahalnya biaya kesehatan, soal-soal ketimpangan lahan dan jebakan berbagai media yang seringkali menyajikan kita sebagai objek pasar. Persoalan ini menjadi semakin suram dan mengendap keruh dalam pikiran masing-masing remaja Indonesia. Walaupun tidak secara signifikan, banyak dari mereka khawatir bagaimana cara bertahan hidup di masa depan.
Cerminan dari kekhawatiran ini dapat kita lihat melalui salah satu contoh, rilis Walhi tahun 2017, menunjukan 159.178.237 dari 519.325.000 hektar luasan tanah Indonesia diusahakan untuk keperluan investasi migas, kehutanan, pertambangan, dan perkebunan sawit besar. Kita dihadapkan dengan minimnya akses terhadap hunian yang layak karna ketimpangan lahan yang begitu besar, dihadapkan dengan potensi kerusakan alam yang demikian menakutkan. Beberapa bencana antropogenik seperti banjir, tanah longsor dan puting beliung membuat banyak orang juga cukup stres dan depresi akibat kehilangan harta benda hasil keringatnya.
Belajar dari Finlandia dan Denmark
Masalah ekonomi politik selalu berkelindan dengan sub-masalah yang terjadi dalam masyarakat, mereduksi masalah sistemik pada beberapa individu saja sungguh membuat roda berfikir kita semakin macet. Evaluasi untuk mendapatkan kebijakan yang adil perlu terus kita tekankan, terus kita suarakan agar hajat hidup orang banyak juga turut terpenuhi, dan tentu saja hajat hidup kita sebagai bagian dari entitas otonom yang disebut warga negara juga perlu diperjuangkan. Belajar dari Finlandia dan Denmark, kedua negara ini selalu menempati posisi teratas dengan indeks negara paling bahagia. Enam variabel kunci yang diukur oleh laporan tersebut adalah pendapatan (PDB per kapita), dukungan sosial, harapan hidup sehat, kebebasan untuk menentukan pilihan hidup, kedermawanan, dan kebebasan dari korupsi.
Finlandia dan Denmark memiliki cara yang cukup progresif dalam menentukan kebijakan. Dua negara ini berpijak pada satu sistem yang disebut Welfare State atau seringkali disebut sebagai negara kesejahteraan. Gagasan tentang Welfare State muncul pertama kali dalam benak Otto Von Bismarck seorang kanselir Jerman. Gagasan ini merupakan wahyu yang diterimanya akibat dari munculnya gerakan sosialisme dan kelas pekerja. Pada dasarnya Otto Von Bismarck merupakan demokrat borjuis, tujuan dari gagasan ini justru untuk mengubah gerakan kaum sosialis progresif menjadi gerakan reformis dengan menerapkan regulasi tentang jaminan-jaminan sosial seperti asuransi kecelakaan, kesehatan dan pensiunan hari tua.
Teori ini yang kemudian diterapkan di negara seperti Finlandia dan Denmark, pendidikan gratis, sistem kesehatan yang didanai pajak, dana pensiunan nasional dan tunjangan untuk pengangguran yang kehilangan pekerjaan. Layanan publik ini didapatkan melalui 70% pajak di Finlandia dan 65% di Denmark. Bagaimana Finlandia dan Denmark bisa menerapkan sistem tersebut? Model negara kesejahteraan seperti di Finlandia dan Denmark tidak tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan proses panjang yang ditempuh melalui perjuangan klas yang cukup rumit dan banyak memakan korban.
Pada tahun 1906, Finlandia mulai membentuk Partai Sosial Demokrat Finlandia (SPD) untuk pertama kalinya, pengorganisiran partai-partai ini kemudian melahirkan banyak peristiwa termasuk perang saudara pada 1917. Pada tahun 1918, SPD dan garda merah mengalami kekalahan dan represi. Pada tahun 1930 gerakan buruh kembali bangkit dan mulai mengupayakan negosiasi-negosiasi terkait kesejahteraan sosial, hingga pada tahun 1960 mereka menekankan model negara nordik yang digadang-gadang sebagai model Welfare State atau negara kesejahteraan, demikian yang terjadi di Denmark tidak jauh berbeda.
Indonesia merupakan negara dengan potensi historis yang cukup kaya, kita mengenal berbagai macam perjuangan yang cukup banyak diadaptasi dalam literatur sejarah kita. Bahkan presiden pertama kita Ir. Soekarno pernah menerapkan kebijakan nasionalisasi industri Kolonial Belanda, meskipun pada waktu itu kita kurang cukup SDM untuk mulai menerapkan ide berdikari ala Soekarno, alhasil program nasionalisasi itu banyak dijalankan oleh anggota militer, dan mirisnya banyak dari mereka yang korup.
Perjuangan ekonomi politik memiliki kelindan dengan masalah-masalah kesehatan mental, masalah kapitalisme dan berbagai macam ketimpangan yang disebabkan menjadi dasar dari persoalan-persoalan yang hadir bahkan dalam taraf rumah tangga, tentang kesanggupan kita membiayai pendidikan anak, kebutuhan bahan pokok, kesehatan keluarga yang sewaktu-waktu bisa memicu konflik internal dan membuat kita stres bahkan depresi. Negara memiliki instrumen hegemoni, sebagaimana yang dijelaskan oleh Antonio Gramsci dalam "Negara Dan Hegemoni", instrumen hegemoni ini yang kemudian memiliki peran penting dalam membentuk persepsi kita tentang realitas, tentang bagaimana kita bertahan hidup, upaya kita dalam mengaktualisasikan diri dan berbagai macam halang rintang yang kita hadapi.
Kesimpulan dari uraian ini sebetulnya untuk mengajak pembaca agar merefleksikan kembali masalah-masalah yang sering dianggap privat, merumuskan ulang solusi dari masalah-masalah sistemik yang kita hadapi, sekaligus menawarkan model baru arah perjuangan untuk Indonesia adil dan makmur, serta membebaskan diri dari penyakit mental produk dari revolusi Industri dan kapitalisme.
Editor : G Indri A.
Tags:
Opini