Pada hari Sabtu, 25 Januari 2025, sekitar pukul 18.00, kami, komunitas Wahana Baca (Eko, Ilham, Krisna, Fahmi, dan Ghaluh), memulai aktivitas lapak buku di Taman Kota Pasuruan, Jalan Pahlawan. Cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah mendung, lalu turun hujan. Untuk menghindari kerusakan pada buku-buku, kami segera membereskan lapak dan mencari tempat berteduh di bekas bangunan Perpustakaan Kota.
Setelah hujan reda, kami berencana melanjutkan kegiatan. Namun, sekitar pukul 22.00, seorang petugas taman menghampiri kami dan dengan nada tegas meminta agar kami segera meninggalkan lokasi. Kami mencoba menjelaskan bahwa kami hanya berteduh dan akan kembali melapak setelah cuaca membaik. Sayangnya, penjelasan kami tidak dihiraukan, dan petugas tetap bersikeras meminta kami pergi.
Merasa diperlakukan tidak adil, kami hanya bisa menuruti perintah tersebut dan membereskan barang-barang untuk meninggalkan taman. Kejadian ini sangat mengecewakan, mengingat Taman Kota seharusnya menjadi ruang publik yang berfungsi sebagai tempat untuk berekspresi dan berkesenian. Ironisnya, kebebasan ini justru dibatasi dengan alasan yang tidak masuk akal.
Ini adalah kali ketiga komunitas Wahana Baca mengalami penggusuran. Pengalaman pertama terjadi di taman depan GOR Kota Pasuruan, waktu itu taman kota sedang direnovasi. kami digusur oleh Satuan Polisi Pamong Praja. Padahal, kami telah menyiapkan kajian yang cukup kuat untuk mendukung kegiatan kami, merujuk pada Pasal 4 dan 5 Perda Nomor 2 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perpustakaan, serta Pasal 13 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan.
Setelah renovasi taman selesai, kami kembali mengalami penggusuran oleh pihak DLHKP dengan alasan kebersihan dan estetika. Hal ini memunculkan banyak pertanyaan terkait dasar peraturan tersebut dan tujuan pembuatannya. Bukankah ruang publik seharusnya menjadi tempat interaksi sosial, di mana setiap individu memiliki kebebasan untuk belajar, berekspresi, dan berkreasi? Jika fungsi dasar ruang publik dibatasi dengan alasan seperti jam malam demi keamanan, bukankah itu justru kontraproduktif?
Keamanan seharusnya dijamin oleh institusi yang memang bertugas 24 jam untuk melindungi masyarakat. Pembatasan akses terhadap ruang publik bukanlah solusi yang tepat. Sebaliknya, peningkatan pelayanan keamanan adalah langkah yang lebih masuk akal. Kebebasan berekspresi di ruang publik merupakan salah satu pondasi utama demokrasi. Ketika ruang ini dibatasi, bukan hanya hak individu yang terabaikan, tetapi juga esensi dari demokrasi itu sendiri.