Mitos Demokrasi: Sebuah Renungan untuk Mahasiswa

Kampanye Peringatan Darurat di Gaungkan Seluruh Indonesia.(X/TrendAsia.Org)

Di berbagai penjuru negeri, demonstrasi yang dipelopori oleh gerakan mahasiswa meledak dengan semangat yang berkobar, didorong oleh rasa kekecewaan mendalam terhadap Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Dengan pamflet-pamflet yang mengusung "Peringatan Darurat," mereka menyuarakan kekhawatiran bahwa undang-undang ini merupakan alat bagi presiden Jokowi untuk memperkuat dinasti politiknya, memberi ruang politik yang lebih luas bagi keluarganya. Dalam narasi yang megah dan heroik, mahasiswa memposisikan diri sebagai pejuang demokrasi yang sedang menggoyang fondasi kekuasaan demi mempertahankan nilai-nilai demokrasi. Mahkamah Konstitusi pun dipuja sebagai benteng terakhir yang melindungi hak-hak rakyat melalui putusan yang lebih demokratis terkait threshold dan batas usia pencalonan.

Namun, narasi ini terkesan reduksionis dan mengabaikan kenyataan historis selama satu dekade terakhir. Dalam rentang waktu tersebut, Jokowi telah membentuk serangkaian kebijakan yang lebih merupakan manifestasi dari autokrasi legalistik. Revisi Undang-Undang KPK yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi, Undang-Undang Cipta Kerja yang menindas hak-hak buruh dan merusak lingkungan, serta Undang-Undang Hukum Pidana yang memberi ruang bagi adanya kriminalisasi dan pelanggaran hak asasi manusia, adalah bukti bahwa demokrasi yang dijanjikan tak lebih dari sekadar mitos.

Gerakan mahasiswa hari ini, sayangnya, lebih sering terjebak dalam anggapan bahwa demokrasi hanya bersumber dari proses elektoral. Mereka mengabaikan aspek-aspek yang lebih fundamental seperti kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi, dan berpendapat. Gerakan mereka gagal melihat bagaimana kekuatan ekonomi politik bekerja di balik layar, memungkinkan para oligarki dan kapitalis besar untuk terus mengontrol jalannya pemerintahan dan memelihara status quo demi kepentingan pribadi mereka.

Kurangnya kesadaran ini, tentu saja, bukan tanpa sebab. Sistem pendidikan yang bersifat komersil dan relasi kuasa yang terjadi di dalam kelas maupun organisasi kemahasiswaan sendiri telah menumpulkan kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan memahami realitas ekonomi politik yang kompleks. Ketidakmampuan ini berakibat pada gerakan yang mereka bangun, yang akhirnya terjebak dalam ritual elektoral yang dangkal, tanpa menawarkan alternatif yang benar-benar pro-rakyat.

Di mata mereka, demokrasi seakan hanya ada dalam bentuk pemilu lima tahunan dan diskusi-diskusi fraksi partai politik di parlemen. Mahasiswa lupa bahwa peran mereka bukanlah sebagai penggerak utama perubahan sosial, melainkan sebagai katalis dalam upaya melawan otoritarianisme. Ironisnya, dalam upaya mereka untuk menjadi pahlawan demokrasi, gerakan yang mereka bangun justru sering kali bersifat elitis dan terlepas dari realitas serta kebutuhan rakyat kecil.

Lebih dalam lagi, gerakan mahasiswa ini menunjukkan bagaimana mereka, sebagai kelompok sosial, berada dalam dilema yang rumit. Mereka, di satu sisi, merendahkan diri ketika berada di bawah, namun tanpa ragu menjadi penindas ketika mendapat sedikit kuasa. Ini adalah bukti dari kurangnya kesadaran kelas, yang merupakan hasil dari pendidikan tinggi yang lebih fokus mencetak tenaga kerja untuk sistem kapitalistik daripada membentuk manusia yang berpikir kritis. Dalam realitas ini, mereka terjebak dalam hegemoni kelas borjuis yang diperantarai oleh media massa, sistem pendidikan, dan doktrin-doktrin agama.

Gerakan mahasiswa yang saat ini terlihat tumpul adalah hasil dari keberhasilan dominasi budaya, ideologi, dan pendidikan yang telah membentuk kesadaran mereka. Hegemoni kelas penguasa berhasil menanamkan ide-ide dominan yang diterima sebagai "normal" atau "benar" oleh banyak mahasiswa. Dalam hal ini, sistem pendidikan yang bersifat komersil dan teknokratik telah menciptakan mahasiswa yang lebih berfokus pada keterampilan teknis dan pragmatisme, daripada pengembangan pemikiran kritis dan kesadaran politik.

Pendidikan seperti ini tidak mendorong mahasiswa untuk mempertanyakan struktur kekuasaan atau memahami dinamika ekonomi-politik yang ada. Sebaliknya, pendidikan ini cenderung mencetak generasi yang mempertahankan status quo. Akibatnya, mahasiswa sering kali terjebak dalam narasi dominan tentang demokrasi sekadar sebagai proses elektoral, tanpa memahami bahwa demokrasi yang sejati harus mencakup kebebasan berekspresi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial.

Tanpa kesadaran kelas yang kuat, mahasiswa cenderung menjadi bagian dari sistem yang ada, atau bahkan mendukungnya tanpa disadari. Mereka mengadopsi pandangan bahwa demokrasi cukup diwujudkan melalui pemilihan umum, sementara melupakan bahwa demokrasi juga menuntut adanya perlindungan terhadap hak-hak sipil, keadilan bagi rakyat miskin, dan perubahan sosial yang lebih mendalam.

Gerakan mahasiswa, jika ingin menjadi efektif, harus menyadari peran mereka dalam mendorong perubahan sosial yang lebih luas. Mereka perlu melampaui tuntutan-tuntutan elektoral dan bergerak menuju perjuangan yang lebih substansial untuk keadilan sosial, ekonomi, dan politik. Mahasiswa memiliki potensi untuk menjadi katalisator perubahan, tetapi potensi ini hanya dapat diwujudkan jika mereka menyadari pentingnya memperjuangkan hak-hak kelas pekerja dan rakyat miskin secara keseluruhan, bukan hanya terbatas pada perjuangan elektoral yang superfisial.

Dalam konteks ini, penting bagi gerakan mahasiswa untuk membangun aliansi yang kuat dengan kelompok-kelompok masyarakat yang tertindas, agar dapat menciptakan perubahan yang lebih mendasar. Perjuangan yang sesungguhnya memerlukan keberanian untuk menantang sistem yang ada dan bergerak melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh mereka yang berada dalam kekuasaan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama