Menyoal Narasi "Adili Jokowi dan Kroni-kroninya" Sebagai Bentuk Defisit Pengetahuan Sejarah

 

Kaesang (X/sigitwid)

Apa yang sering kita dengar belakangan di sosial media, tentang dosa-dosa rezim Jokowi selama dua periode, dan narasi yang menyudutkan Jokowi sebagai pelopor hancurnya sistem demokrasi di Indonesia adalah benar tetapi juga terlalu di lebih-lebihkan.¹ Sepuluh tahun belakangan, banyak kebijakan yang lahir untuk melayani kepentingan kaum pemodal alih-alih masyarakat menengah ke bawah yang secara kuantitas lebih dominan. Terdapat beberapa variabel yang membuat demokrasi tergerus di era kepemimpinan Jokowi. 

Hukum sebagai produk politik, banyak diganggu gugat untuk kepentingan kaum-kaum pengusaha besar sebagai upaya untuk memperbesar akumulasi kapitalnya. Kita bisa telusuri lebih dalam dengan membaca aturan-aturan yang menguntungkan bagi kaum pemodal ini, misalnya Undang-Undang Cipta Kerja, Revisi Undang-Undang KPK, Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, dan lain sebagainya. Produk legislasi ini menjadi hal yang penting untuk menyokong akumulasi modal pengusaha-pengusaha besar khususnya di sektor industri ekstraktif. 

Di sisi lain, banyak produk Undang-undang yang mangkrak seperti halnya Rancangan Undang-undang perampasan aset, Undang-undang masyarakat adat, dan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang urgensinya lebih nyata terlihat untuk kepentingan kelas menengah ke bawah tidak kunjung disahkan. Narasi tentang Jokowi sebagai pelopor hancurnya demokrasi ini tidak serta-merta muncul kepermukaan sebagai respon dari keresahan politik yang murni. Melainkan timbul dari akumulasi kemarahan masyarakat yang merasa hak-haknya di rampas melalui rezim autokratik legalisme Jokowi selama bertahun-tahun lamanya untuk kepentingan kaum pemodal. 

Jika diteliti lebih dalam, problem ketimpangan, kerusakan ekologi ditengah maraknya isu krisis iklim, naiknya tingkat represifitas aparat negara, dan praktek Kolusi, Korupsi serta Nepotisme berbanding lurus dengan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang. Kita bisa lihat, 1% orang di Indonesia menguasai 68% penguasaan lahan di Indonesia.² ini merupakan ekspresi dari ketimpangan kepemilikan lahan yang ada di Indonesia. 

Mengulang Sejarah Tak Menyelesaikan Apapun

Narasi dominan untuk merespon terkait hancurnya demokrasi di Indonesia, berujung pada pelimpahan kesalahan pada beberapa orang saja seperti Jokowi dan keluarganya. Jokowi dianggap sebagai dalang dari hancurnya demokrasi karna dianggap membangun dinasti politik yang merugikan rakyat. Peristiwa ini kemudian memberikan bias terhadap akar permasalahan yang harus diselesaikan, muncul narasi "Adili Jokowi dan Kroni-kroninya". Ini benar, tapi juga sering dilebih-lebihkan. 

Bagi orang-orang yang hidup dan berjuang untuk keluar dari cengkraman Orde Baru, barangkali narasi ini cukup familiar. Narasi ini menjadi salah satu tuntutan pasca lengsernya Soeharto dari kekuasaannya. Ini disebabkan karna berbagai macam peristiwa, mulai dari pelanggaran HAM, Kolusi, Korupsi dan Nepotisme serta dominasi keluarga Cendana dalam tampuk kekuasaan politik Orde Baru yang tumbang setelah munculnya krisis 1998. 

Pasca Reformasi, kekuatan ekonomi politik orde baru semakin terpecah-pecah dan mulai terkonsolidasi ketika Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memimpin, serta semakin terkonsentrasi ketika Jokowi yang memimpin. Bisa dilihat, bagaimana pensiunan militer yang dulunya merupakan kaki tangan Orde Baru mulai terkonsolidasi dengan jaringan bisnis di sektor-sektor ekstraktif dan banyak mempengaruhi regulasi untuk melanggengkan akumulasi modalnya, serta menunjukan taringnya di era Jokowi.³

Narasi terkait "Adili Jokowi dan Kroni-kroninya" memiliki bias terhadap kondisi ekonomi politik yang sedang dibangun diatas kepentingan bisnis oligarki ini. Kita harus secara sadar melihat persoalan yang sebetulnya berlangsung secara sistemik, reformasi 1998 yang terlalu diglorifikasi merupakan romantisme bualan aktivisme borjuis yang justru tidak memberikan solusi apapun untuk digunakan pada era hari ini. Yang bermasalah adalah sistem ekonomi politik yang dibangun di atas kepentingan kaum pemodal, sehingga narasi "Adili Jokowi dan Kroni-kroninya" bukanlah jalan yang sepenuhnya tepat untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan, eksploitasi sumber daya alam dan pelanggaran HAM masa lalu. 

Perubahan Radikal, "Revolution is The Key!"

Perubahan mendasar terkait sistem ekonomi politik harus didasarkan pada kepentingan kelas pekerja, hal ini tentu bertentangan dengan sistem hari ini yang berpihak pada kaum pemodal. Kita bisa lihat bagaimana negara-negara Nordik berkembang begitu pesatnya dengan sistem sosial demokrasinya, penerapan sistem "Welfire State" ini sudah lama diupayakan oleh Orde Lama, kita bisa telusuri jejak cita-cita itu pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 

Modal sejarah kita sudah punya, tinggal implementasinya, tentu tidak mudah mewujudkan agenda besar ini, butuh kerja keras dan waktu yang cukup panjang. Penerapan pajak progresif, pendidikan, dan kesehatan gratis, serta penerapan universal basic income barangkali masih terlalu berat jika melihat kondisi hari ini. Tapi kita bisa upayakan melalui dorongan agitasi dan propaganda di akar rumput yang lebih progresif melalui analisis yang tepat terhadap kondisi ekonomi politik di Indonesia. 

Di belahan dunia manapun, gerakan revolusi selalu membutuhkan momentum, dan momentum itu hanya bisa di wujudkan melalui pengorganisiran aksi masa yang progresif. Tan Malaka mengulas dengan cukup detail dalam buku "Aksi Masa", prasyarat menuju sosialisme ada tiga. Krisis, kesadaran politik masyarakat, dan organisasi progresif yang mewujud dalam partai revolusioner. 

Tiga variabel ini merupakan kunci utama untuk menuju Indonesia adil dan makmur sebagaimana yang dicita-citakan oleh founding parents kita. Pertanyaannya, sudahkah tiga prasyarat itu terpenuhi? Setelah selesai pemilu 2024 kemarin, kita bisa lihat bagaimana konstelasi partai politik dan arah gerakannya mulai terbentuk, tetapi hingga hari ini, ciri dari partai revolusioner itu belum terlihat sama sekali, kesadaran masyarakat hari ini juga masih bersifat reaksioner, serta momentum krisis masih bisa di atasi oleh inovasi kaum pemodal di Indonesia, kita bisa lihat itu ketika covid-19 yang berlangsung pada tahun 2020-2022 kemarin. 

Hegemoni kaum pemodal terlalu besar dengan banyaknya instrumen yang mereka kuasai. Banyak sektor yang masih bisa mereka kendalikan seperti media masa, kaum Agamawan, para pendidik, dan aparatur keamanan negara yang oleh Antonio Gramsci dibagi berdasarkan watak hegemoninya, yaitu aparatur koersif dan aparatur ideologis negara. Yang bisa kita lakukan hari ini adalah melakukan gerakan akar rumput sembari menyatukan kekuatan bersama untuk mewujudkan tiga prasyarat terjadinya revolusi tadi dengan menyusun strategi taktik sebagai upaya untuk melakukan counter narasi kaum-kaum reformis yang cukup dominan hari ini.

Memperbanyak forum-forum pendidikan politik sebagai upaya untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang progresif, masuk lebih dalam untuk melakukan advokasi di desa-desa dengan pendekatan kultur progresif seperti yang dilakukan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat dibawah pengorganisiran partai lama. menggunakan seni sebagai salah satu instrumen untuk menggugah kesadaran kelas kaum tertindas. Hanya dengan semua itu kita bisa wujudkan revolusi sebagai tonggak perubahan Indonesia yang adil dan makmur, sembari menunggu momentum krisis untuk memantik meletusnya kesadaran rakyat atas sistem yang menindas hari ini.

Melihat akar struktural dari sistem ini merupakan kunci untuk menjawab rusaknya wajah Indonesia hari ini, bukan hanya melihat satu, dua orang yang dianggap perlu bertanggung jawab atas rusaknya demokrasi di Indonesia. Kerusakan sistemik perlu diperbaiki secara sistemik, tidak lain. 

¹ "Rezim Jokowi Diputuskan Terbukti Melanggar Hak Konstitusi Rakyat pada Gugatan Mahkamah Rakyat Luar Biasa", Kontras, 27 Juni 2024,  https://kontras.org/artikel/rezim-jokowi-diputuskan-terbukti-melanggar-hak-konstitusi-rakyat-pada-gugatan-mahkamah-rakyat-luar-biasa

² Kartika, Dewi. "Visi-Misi Para Kandidat Capres-Cawapres Belum Menempatkan Reforma Agraria Sebagai Fondasi Pembangunan Nasional", Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), 10 Desember 2023, https://www.kpa.or.id/2023/12/10/visi-misi-para-kandidat-capres-cawapres-belum-menempatkan-reforma-agraria-sebagai-fondasi-pembangunan-nasional/

³ Greenpeace Indonesia, "Elite Politik Dalam Pusaran Bisnis Batu bara", Greenpeace, 17 Desember 2018, https://www.greenpeace.org/indonesia/publikasi/1243/elite-politik-dalam-pusaran-bisnis-batu-bara/

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama