Akar Penindasan Perempuan dan Jalan Menuju Pembebasan

Ilustrasi foto Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret. (Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A)

Akhir-akhir ini, banyak lewat notifikasi sosial media yang bersinggungan dengan berbagai macam bentuk kekerasan seksual. Pemerkosaan, pelecehan baik verbal maupun non-verbal, atau bahkan kekerasan dalam rumah tangga yang dominan dilakukan oleh laki-laki. Jika diperkenankan bercerita sedikit pengalaman, kira-kira satu bulan lalu, tepatnya akhir bulan Agustus 2024, saya mendapat cerita dari teman saya tentang kondisi pasien di salah satu rumah sakit X. Saya sebut rumah sakit X, untuk melindungi data diri pasien. 

Teman saya bercerita, bahwa ada salah satu pasiennya yang setelah didiagnosa, memiliki gejala depresi berat. Pasien tersebut perempuan, masih kelas tiga SMP, kira-kira umur 14-16 tahun. Setelah petugas medis mendalami terkait dari mana gejala depresi itu muncul, keluarganya bilang, "dia (pasien) abis dibully di sekolah, sempat juga minta sepeda motor tapi nggak kami beri". Kurang lebih begitu keterangan keluarga pasien.

Setelah diobservasi kurang lebih 24 jam, petugas medis menemui kejanggalan. Anak perempuan itu (sebut saja si Y) tidak mau di tangani oleh petugas medis laki-laki, dan lagi, selang sehari si Y mengalami pendarahan vagina. Hal ini membuat petugas medis semakin curiga dan untuk keperluan diagnosis yang lebih akurat, petugas medis kembali memastikan terkait keterangan keluarga Y, apakah benar bahwa si Y ini mengalami gejala depresi setelah mendapatkan bullying? Dari sini kemudian keluarga Y menceritakan hal sebenarnya. Ibu Y mengatakan pada petugas medis bahwa Y diperkosa oleh teman-teman yang Y kenal dari sosial medianya. 

Ketidak jujuran keluarga Y ini dilandasi oleh rasa takut sang ibu pada kakak Y yang bilamana kakak Y tahu terkait kondisi Y, kakak Y akan menghukum Y dengan memarahi atau memukulnya. Ini merupakan salah satu bentuk dari kekerasan struktural pada perempuan yang masih sering berlaku di kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Bukan kesalahan dan keinginan Y dia diperkosa, alih-alih Y mendapatkan dukungan baik secara fisik maupun psikologis dari orang-orang terdekatnya, Y malah mendapatkan tekanan bahkan dari keluarganya sendiri. 

Kasus ini merupakan satu dari banyaknya kasus kekerasan struktural pada perempuan karena kultur yang patriarkis. Untuk membedah bagaiamana asal-usul kekerasan struktural ini terjadi dan menganalisis lebih dalam terkait kultur patriarkis ini, kita membutuhkan pisau analisis yang berani dengan jujur dan jernih melihat akar permasalahan "mengapa perempuan masih tidak mampu menaikkan status sosialnya bahkan di era kapitalisme modern yang dianggap sudah memberikan hak yang sama terkait kebebasan untuk bekerja, berpolitik dan menempuh pendidikan?"

Pertanyaan ini merupakan dasar yang dapat kita ajukan di era eksisnya ideologi neoliberalisme sebagai ideologi dominan di dunia hari ini. Untuk menjawabnya, perlu penelusuran sejarah yang panjang sebagai permulaan untuk merumuskan jalan pembebasan kaum perempuan dari kultur yang memenjarakannya. 

Asal-usul Penindasan Perempuan, Munculnya Patriarkisme Sebagai Manifestasi Kekalahan Perempuan Pertama Kali Dalam Sejarah

Dari kasus Y, bisa kita refleksikan bagaimana kultur patriarkis bekerja, yakni melalui relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan, atau yang tua terhadap yang muda, bahkan relasi kuasa intelektual berlaku di dalamnya. Secara historis, relasi kuasa terbentuk karena adanya suatu ketimpangan. Ketimpangan ini kemudian dijadikan alat untuk melakukan penundukan, dan dalam sejarah, ini sudah terjadi bahkan ribuan yang lalu. Untuk mengulasnya secara singkat Frederich Engels menjelaskan melalui bukunya yang berjudul "Asal-usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara". 

Buku karya Engels itu menjelaskan bahwa kekalahan perempuan pertama kali disebabkan dari munculnya kepemilikan pribadi untuk pertama kalinya. Teori Engels didasarkan pada pembacaan ekonomi politik dari karya antropologi Lewis H. Morgan yang berjudul "Ancient Society". Morgan membagi tiga periodesasi untuk menjelaskan evolusi peradaban manusia, yang pertama adalah masa kebiadaban, kedua barbarisme, ketiga adalah masa peradaban. 

Tiga periodesasi Morgan ini kemudian dianalisis lebih lanjut oleh Engels berdasarkan analisis materialisme historis. Masa kebiadaban dalam perspektif Morgan, merupakan suatu bentuk peradaban primitif yang corak produksinya masih bersifat kolektif. Pada masa ini, manusia masih berburu dan meramu, berlaku juga garis turun perempuan (matrilineal). Kultur matriarki berlaku karena perempuan masih cukup produktif dalam memberikan keputusan baik dalam hal ekonomi maupun politik. 

Peran perempuan cukup signifikan, bahkan dalam hal inovasi teknologi. Mata bajak dan perkembangan agrikultur pertama misalnya, disinyalir merupakan hasil inovasi perempuan. Menurut Engels pembagian kerja berdasarkan gender pada periode ini tidak ajeg sebagaimana yang kita ketahui saat ini. Perempuan bebas untuk memilih ikut berburu atau meramu, ini di dukung oleh penemuan Randy Haas dari University of California yang melakukan penanggalan karbon dan analisa protein terhadap pemakaman kuno di Peru pada tahun 2018. Temuannya menunjukkan bahwa jenazah purba berumur 8.700 hingga 9.000 tahun lalu yang dikelilingi alat berburu tersebut adalah perempuan. 

Untuk membuktikan kekuatan perempuan dalam hal berburu, barangkali hasil penelitian Alison A. Macintosh dari University of Cambridge dan dua rekannya bisa memberikan kita cukup keyakinan. Mereka menganalisa jenazah dari pemakaman masa Neolitikum, Zaman Perunggu dan Zaman Besi. Mereka menemukan bahwa perempuan pra-sejarah "berotot" - tangan mereka lebih kuat dari atlet juara dayung hari ini. 

Pertanyaannya kemudian, bagaimana peran perempuan bisa dengan mudah disingkirkan bahkan dilupakan? Ini berkaitan dengan transisi dari era kebiadaban menuju era barbarisme. Manusia yang pada mulanya berburu meramu dan hidup nomaden, mulai hidup menetap karena penemuan agrikultur dan domestifikasi hewan mulai berkembang pesat. Dengan manusia mulai hidup menetap, mereka memerlukan pranata sosial, ekonomi, dan politik yang lebih maju. 

Manusia mulai membutuhkan pembagian kerja yang cukup signifikan seperti pengrajin,  tentara, administratur, petani, pemburu dan lain sebagainya untuk mempertahankan dan mengakumulasi sumber dayanya, dan tentu itu membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak. Kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak ini yang kemudian menyingkirkan peran perempuan dalam ranah produksi, dan mulai tergeser ke ranah-ranah reproduksi. Perempuan dipandang perlu untuk lebih banyak menghasilkan keturunan alih-alih berperan dalam sektor-sektor produksi. Ini yang kemudian jadi awal mula perempuan mulai ditempatkan pada ranah domestik. 

Karena spesifikasi tenaga kerja mendorong produktifitas kelompok dalam menghasilkan sumber daya, maka terjadilah penimbunan yang memantik timbulnya hak milik pribadi untuk pertama kalinya. Keluarga-keluarga yang produktif menimbun lebih banyak sumber daya, dan meminjamkan sumber daya tersebut pada sebagian keluarga miskin, relasi kuasa pertama muncul karena timpangnya hak milik. Bagi keluarga yang tidak mampu membayar hutang, terpaksa mereka menjadi budak bagi pemberi hutang. 

Dari sistem perbudakan ini, kita bisa melihat efektifitasnya untuk membangun peradaban yang lebih maju. Kita bisa lihat bagaimana kemegahan Piramida Mesir dibangun melalui tenaga kerja budak yang berjuta-juta jumlahnya. Bangunan megah di Babilonia, bahkan demokrasi Yunani bisa berjalan begitu ideal karena 200.000 lebih penduduknya hidup diatas penderitaan 80.000 tenaga budak yang bekerja secara kolektif. 

Sistem ini kemudian memperparah status sosial perempuan. Mereka bahkan dianggap sebagai manusia kedua, kita bisa lihat dalam buku "Republikanisme" karya Robertus Robet. Ide Republikan yang kita pegang itu ternyata memiliki peran penting dalam mendiskreditkan peran perempuan dalam ranah-ranah politik. 

Pembagian antara "Phone" dan "Logos", "Oikos" dan "Polis", hingga adaptasinya dalam sistem pemerintahan Imperium Roma yang oleh Cicero diubah menjadi "Res Privata dan Res Publika". Kata dasar Phone memiliki sisi kelam dalam mendefinisikan status sosial perempuan. Phone artinya "Bunyi" yang disematkan pada perempuan dan budak, berbeda dengan Logos yang memiliki arti "ekspresi penalaran" dan di identikkan hanya terdapat pada laki-laki yang bukan budak. 

Dari sini kita bisa lihat bagaimana kultur patriarkis berkembang pesat bahkan dalam konsep dan wacana-wacana pemikiran. Kita bisa bayangkan bagaimana beratnya tugas kaum feminis untuk membumihanguskan kultur yang sudah berlaku bahkan sejak ribuan tahun yang lalu. Dari analisis historis ini, setidaknya kita bisa mengetahui akar masalah dari munculnya kultur patriarkis yang cukup menyebalkan ini. Lantas apa yang bisa kita lakukan agar kita bisa kembali bekerja bersama dan membangun peradaban yang lebih egaliter

Tawaran Kaum Sosialis-Marxis (SM) Untuk Jalan Pembebasan Perempuan

Seperti yang dijelaskan melalui analisis Engels, bahwa Patriarkisme sudah lama eksis di muka bumi ini bahkan sejak ribuan tahun yang lalu. Sesuatu yang di lakukan secara terus menerus secara kuantatif, akan berpengaruh pada perubahan-perubahan kualitatif sebagaimana yang dijelaskan dalam hukum dialektika. Kita bisa lihat contohnya pada perempuan, evolusi pinggul membesar, disinyalir akibat dari domestifikasi kaum perempuan di masa lalu. 

Kaum Feminis SM  merasa perlu untuk menyelesaikan akar persoalan dari penindasan perempuan, lebih jauh, juga penindasan kaum buruh di era kapitalisme hari ini. Kaum SM memandang bahwa dengan meleburnya gerakan perempuan untuk menghancurkan kapitalisme, murapakan modal awal untuk memperjuangkan keadilan gender yang lebih progresif. 

Argumentasi ini berangkat dari analisis SM dalam melihat akar masalah penindasan perempuan melalui analisis dialektika historis. banyak tokoh feminis SM yang bekerja keras menjelaskan bagaimana perempuan bisa memenangkan dirinya, kita bisa lihat melalui karya-karya Rossa Luxemburg, Alexandra Kollontai, Silvia Federici dan banyak tokoh SM lainnya, termasuk yang mendokumentasikan bukti penemuan antropologi baru terkait peran perempuan dalam masa pra-sejarah, Pat Brewer. 

Perempuan, hanya bisa mendapatkan kebebasannya jika bekerja bersama dengan kekuatan-kekuatan progresif dan dipandu dengan teori progresif Sosialis-Marxis, perempuan pekerja sedunia bersatulah!


Sumber:

1. Brewer, Pat. "Penyingkiran Perempuan Pengujian Marxis atas Bukti Baru Tentang Asal-Usul Penindasan Perempuan", Bintang Nusantara, Februari 2021.

2. Engels, Frederich. "Der Ursprung der Familie, des Privateigenthums und des Staats", 1884. 

3. Robet, Robertus. "Republikanisme: Filsafat Untuk Indonesia", Marjin Kiri, 1 Januari 2021.

4. Mulyanto, Dede. "Genealogi Kapital: Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik", Resist Book, 2012.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama