“Herman dan Bimo adalah dua dari 13 aktivis yang hilang saat kerusuhan 1998. Sampai sekarang, mereka tidak ditemukan. Negara dianggap terkesan abai terhadap peristiwa sejarah kelam ini”
![]() |
Poster Film Yang (Tak Pernah) Hilang. Sumber: Instagram Dandik Katjasungkana. |
26 tahun sudah berlalu. Progres demokrasi yang masyarakat Indonesia cecap hari ini, adalah imbas dari perjuangan rakyat Indonesia dalam upaya menumbangkan rezim orde baru, pemerintahan yang dipimpin oleh presiden Soeharto saat itu.
Rentetan kerusuhan terjadi merespon kondisi politik Indonesia di tahun 1998. Penyebabnya cukup kompleks. Mulai dari kondisi krisis ekonomi, sosial, dan pelanggaran hak asasi manusia yang terus memburuk di masa presiden Soeharto.
Puluhan ribu orang terdampak langsung dalam kerusuhan. Kerugian dialami masyarakat mulai dari kerugian finansial hingga psikis. Satu di antara banyaknya peristiwa, yang mencuat adalah kasus hilangnya dua mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) yakni Herman Hendrawan dan Bima Petrus (Bimo atau Bimpet).
Dalam sebuah acara peringatan Hari Anti Penghilangan Paksa, Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) Jawa Timur dan BEM FISIP UNAIR, dan beberapa komunitas dan organisasi lain melakukan pemutaran film berjudul Yang (Tak Pernah) Hilang di FISIP UNAIR, Jumat (30/08).
Dari film, diketahui Herman dan Bimo adalah dua mahasiswa yang dikenal kritis terhadap kebijakan negara. Mereka sempat mengorganisir serikat buruh untuk melakukan agenda advokasi perburuhan. Hingga Bimo sempat keluar masuk penjara karena aksi-aksinya yang berpihak pada rakyat kecil.
Selama kuliah keduanya terlibat dalam pembentukan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), dan Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP).
Puncaknya di tahuh 1998, mereka berdua ikut melakukan aksi di Jakarta. Di sana mereka berurusan dengan Tim Mawar, sebuah tim dari Kopasus yang dibentuk rezim untuk meredam aksi. Pada 1 April 1997, adalah hari terakhir Herman dan Bimo terlihat. Jati dan Reza bertemu mereka dalam sebuah penyekapan.
Ibu Bimo, Misiati, mengatakan bahwa Bimo sempat mengatakan kepada Ibunya soal tekadnya pergi ke Jakarta. Kepada Ibunya ia bilang bahwa perubahan politik harus terjadi agar generasi berikutnya bisa sekolah.
“…Kalau tidak ada yang berani, siapa lagi? Harus ada,” ucap Bimo pada Ibunya.
SASTRA DAN UPAYA MENOLAK LUPA
![]() |
Suasana nonton bareng Yang (Tak Pernah) Hilang di FISIP UNAIR (30/08/2024). Sumber: BEM UNAIR. |
Melihat kurangnya upaya serius negara dalam menangani kasus ini, serta dalam rangka merawat ingatan perihal tragedi pelanggaran HAM yang belum tuntas, IKOHI Jawa Timur membuat film Yang (Tak Pernah) Hilang yang secara garis besar mengisahkan tentang Hermawan dan Bimo.
Film yang dibuat selama tahun 2019 hingga Februari 2024 Ini adalah terobosan untuk mengedukasi masyarakat tentang sejarah dan HAM di Indonesia. Koordinator IKOHI Jawa TImur, Dandik Katjasungkana, mengatakan bahwa isu kemanusiaan ini harus menjadi perhatian semua orang.
“Jangan sampai isu besar kemanusiaan soal penghilangan paksa yang kami angkat dalam film akhirnya dianggap recehan,” katanya.
Film dibuat dengan mewawancarai 35 orang yang mengenal Hermawan dan Bimo sejak kecil. Mulai dari keluarga, kawan sekolah, kawan organisasi, dosen, dan lain-lain.
Selain film, IKOHI sedang mengupayakan mengenang dua orang itu dengan cara membuat monumen di halaman FISIP UNAIR. Namun sayang, hal ini belum bisa direalisasikan karena berbenturan dengan kebijakan dekanat fakultas.
“Tidak jadi dibuatkan monumen karena pihak dekanat menilai bahwa ide itu tidak berkaitan dengan akademik. Padahal, dua orang mantan mahasiswa FISIP itu telah melaksanakan pengabdian masyarakat, yang tentunya selaras dengan cita-cita tri dharma perguruan tinggi,” terangnya.