Bekerja sesuai dengan Tugas, Pokok, dan Fungsi (Tupoksi) bukan hanya soal formalitas administratif, melainkan esensi dari efektifitas organisasi dan kinerja individu. Dalam konteks manajemen dan organisasi, menjalankan Tupoksi dengan baik menjamin distribusi peran yang jelas dan menghindari tumpang tindih tugas. Mengabaikan Tupoksi, sebaliknya, bisa berujung pada disfungsi, ketidakefisienan, dan konflik antar individu atau divisi.
Teori Manajemen Klasik seperti yang dikembangkan oleh Henri Fayol menekankan pentingnya divisi kerja (division of labor) dan spesialisasi untuk mencapai efisiensi. Fayol menekankan bahwa pembagian tugas berdasarkan Tupoksi memungkinkan pekerja untuk fokus dan mengembangkan keahlian khusus, yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas dan kualitas output. Dalam kerangka teori ini, Tupoksi menjadi alat untuk menciptakan koordinasi yang lebih baik di dalam organisasi.
Teori Birokrasi Max Weber juga memperkuat pentingnya peran Tupoksi melalui hierarki yang jelas, wewenang formal, dan aturan tertulis. Menurut Weber, struktur yang formal dan jelas dalam organisasi—dengan pembagian Tupoksi yang rinci—dapat mengurangi ambiguitas dalam pengambilan keputusan dan meningkatkan konsistensi dalam pelaksanaan tugas. Tanpa Tupoksi yang jelas, wewenang menjadi kabur, dan organisasi menjadi lebih rentan terhadap disorganisasi dan ketidakpastian.
Namun, dalam perspektif teori kontingensi, pentingnya bekerja sesuai Tupoksi harus disesuaikan dengan konteks spesifik organisasi. Dalam organisasi yang dinamis dan harus beradaptasi cepat, Tupoksi bisa menjadi lebih fleksibel. Teori kontingensi menyarankan bahwa dalam lingkungan yang cepat berubah, fleksibilitas dan kemampuan menyesuaikan diri menjadi elemen penting, sehingga peran dan tanggung jawab mungkin lebih kabur, tergantung situasi.
Di sisi lain, teori motivasi kerja seperti teori dua faktor dari Herzberg menyoroti bahwa kejelasan peran (role clarity), yang berkaitan erat dengan Tupoksi, merupakan salah satu faktor kebersihan (hygiene factor) yang mencegah ketidakpuasan kerja. Ketika individu bekerja sesuai dengan peran yang ditetapkan, mereka lebih tahu apa yang diharapkan dari mereka, yang pada gilirannya meningkatkan kenyamanan psikologis dan produktivitas. Ketidakjelasan peran, sebaliknya, menciptakan stres kerja, ketidakpuasan, dan penurunan kinerja.
Dalam ranah organisasi sektor publik atau birokrasi, pentingnya Tupoksi semakin diperjelas oleh regulasi dan sistem pertanggungjawaban yang ketat. Dalam konteks pemerintahan, bekerja sesuai dengan Tupoksi memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam pelayanan publik, di mana setiap jabatan dan divisi memiliki tanggung jawab yang jelas dan terukur.
Meskipun Tupoksi memberikan kejelasan dan struktur, penting juga untuk diingat bahwa kolaborasi antar divisi tidak bisa diabaikan. Pembagian kerja yang terlalu kaku dapat menciptakan silo atau fragmentasi, di mana tiap bagian bekerja secara terpisah tanpa koordinasi yang cukup. Oleh karena itu, organisasi modern menekankan pentingnya kerja tim dan kolaborasi lintas fungsi sebagai pelengkap dari sistem Tupoksi, memastikan bahwa meskipun tanggung jawab spesifik tetap terjaga, ada ruang untuk kerja sama dan inovasi lintas disiplin.
Pada akhirnya, bekerja sesuai Tupoksi adalah landasan utama dalam menjaga disiplin, efisiensi, dan efektivitas dalam organisasi. Teori-teori manajemen, baik klasik maupun kontemporer, menunjukkan bahwa jelasnya pembagian tugas mendorong produktivitas dan mencegah disfungsi. Namun, fleksibilitas dan kolaborasi harus tetap diutamakan untuk menghadapi dinamika dan perubahan yang terus-menerus dalam lingkungan kerja modern.