Pesta Kapitalis: Kemenangan Kelas Borjuasi di Tangan Prabowo

 

Prabowo Gibran. Foto: Edi Wahyono

Pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden pada 20 Oktober 2024 menandai kemenangan signifikan bagi kelas borjuasi Indonesia. Transformasi Prabowo dari seorang pengusaha yang dulunya tidak memiliki akses ke kekuasaan menjadi penguasa negara menunjukkan betapa eratnya hubungan antara bisnis dan politik di Indonesia. Dalam kerangka ekonomi politik marxis, hal ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana akumulasi kapital dilakukan melalui alat negara, dan siapa yang diuntungkan serta dirugikan dalam proses ini.

Prabowo Subianto dikenal memiliki banyak perusahaan yang beroperasi di berbagai sektor, terutama kehutanan dan pertambangan. Menurut laporan Gecko Project, beberapa perusahaan Prabowo yang masih aktif antara lain PT Hutan Rindang Alam dan PT Granit Perkasa, sementara banyak lainnya terlibat dalam bisnis yang berhubungan dengan sumber daya alam. Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa penguasaan sumber daya alam sering kali melibatkan dukungan politik untuk mendapatkan izin dan meminimalkan kendala regulasi.

Gibran Rakabuming Raka, sebagai putra Presiden Joko Widodo, juga memiliki relasi bisnis yang kuat. Ia dikenal memiliki jaringan di dunia usaha, terutama melalui bisnis kuliner dan usaha lainnya yang berkembang pesat di era pemerintahan ayahnya. Keterhubungan antara Prabowo dan Gibran menunjukkan bagaimana relasi politik dan bisnis berjalan beriringan. Hal ini menciptakan ruang bagi kelas borjuasi untuk mengakumulasi kekayaan lebih lanjut dengan dukungan dari kekuasaan negara.

Menggali Kekayaan, Memelihara Ketimpangan

Sejak era Orde Baru, politik dan bisnis telah bercampur baur. Dalam hal ini, Prabowo bukan hanya pelaku bisnis yang kebetulan menjadi presiden, tetapi dia adalah produk dari sistem yang sudah ada. Keterlibatan Prabowo dalam dunia bisnis telah lama menjadi sorotan. Ia dikenal memiliki jaringan yang luas di sektor pertambangan dan energi. 

Dari perspektif materialisme dialektik, kita bisa memahami bahwa kemenangan Prabowo dan Gibran besar kemungkinan menciptakan ketimpangan yang lebih besar dalam masyarakat. Kelas borjuasi, yang memiliki akses langsung ke kekuasaan, berpotensi memperluas dominasi mereka dengan mengesampingkan kepentingan kelas pekerja. Dalam laporan LPEM FEB UI, dijelaskan bahwa kelas atas di Indonesia hanya mencakup 0,4 persen dari populasi, sementara kelas menengah menyusut menjadi 18,8 persen. Ketimpangan ini semakin terlihat dengan jumlah masyarakat miskin yang mencapai 25,22 juta jiwa.

Akumulasi kapital yang dilakukan oleh kelas borjuasi ini tidak hanya merugikan kelas pekerja, tetapi juga mengabaikan kebutuhan dasar mereka. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah yang cenderung menguntungkan pengusaha dapat dilihat sebagai bagian dari strategi untuk mempertahankan hegemoni kelas atas. Misalnya, insentif pajak yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar dapat mengurangi pendapatan negara yang seharusnya dialokasikan untuk program-program sosial yang membantu masyarakat miskin.

Konsolidasi Kelas Kapitalis dan Konsekuensi bagi Kelas Pekerja 

Kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di pemilu 2024 membawa potensi lanjutan kebijakan yang tidak berpihak pada kelas pekerja. Pelantikan kabinet yang terdiri dari 48 menteri dan 56 wakil menteri, yang dipimpin oleh individu-individu berpengaruh dalam sektor ekonomi, memperkuat argumentasi ini. Misalnya, Airlangga Hartarto sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, keduanya memiliki rekam jejak yang kuat dalam mempromosikan kebijakan yang mendukung sektor swasta. 

Seperti yang tercermin dalam data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2023, terdapat fenomena lain yang semakin memperburuk kondisi kelas pekerja: utang pinjaman online (pinjol) yang menjerat berbagai sektor masyarakat. Meskipun laporan tersebut menyoroti bahwa sekitar 40% korban pinjol berasal dari kalangan guru, kasus ini bukan hanya tentang profesi tertentu, tetapi merupakan cerminan dari lemahnya jaminan sosial dan ketidakstabilan ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal ini menggambarkan bagaimana segmen masyarakat yang memiliki pendapatan tetap sekalipun rentan terhadap beban ekonomi yang berlebihan, apalagi di tengah kebijakan yang lebih menguntungkan kalangan elite ekonomi.

Kebijakan ekonomi di bawah pemerintahan Prabowo yang didukung oleh koalisi besar partai-partai ini kemungkinan akan melanjutkan kecenderungan pro-kapital yang menguntungkan kelas pengusaha. Dengan rendahnya resistensi dari legislatif, ada potensi besar untuk peningkatan konsesi kepada korporasi besar, terutama yang beroperasi di sektor energi dan sumber daya alam, di mana Prabowo dan jaringan bisnisnya memiliki kepentingan yang signifikan. Situasi ini memperkuat kekhawatiran bahwa ketidakadilan struktural akan semakin mengakar, menambah tekanan pada kelas pekerja yang sudah terbebani oleh utang dan ketidakpastian ekonomi.

Dalam konteks ini, kita melihat adanya normalisasi terhadap kondisi hidup yang semakin sulit. Kenaikan harga bahan pokok yang mencapai 10-25 persen, sementara gaji tidak meningkat sebanding, adalah refleksi dari pengabaian terhadap kepentingan kelas menengah ke bawah. Sementara itu, kebijakan pemerintah cenderung memberi ruang bagi perusahaan-perusahaan besar untuk beroperasi tanpa banyak hambatan, yang pada gilirannya memperburuk kondisi masyarakat yang sudah rentan.

Mengorganisasir Diri untuk Melawan!

Pengorganisasian masyarakat akar rumput perlu diperkuat agar suara mereka terdengar. Membangun koalisi antar berbagai kelompok masyarakat—mulai dari buruh, petani, hingga kaum muda—dapat menciptakan kekuatan yang cukup untuk menantang kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Aktivisme di dunia maya harus diterjemahkan menjadi gerakan nyata di lapangan, memperjuangkan hak-hak dasar dan menuntut keadilan sosial.

Era kepemimpinan Prabowo dan Gibran membawa tantangan baru bagi masyarakat Indonesia. Kemenangan kelas borjuasi ini menuntut kesadaran kolektif dari masyarakat untuk melawan ketimpangan dan ketidakadilan. Meski sulit, perjuangan untuk mengubah kondisi ini harus tetap berlanjut. Dengan membangun kekuatan kolektif dan mengorganisir gerakan sosial yang solid, masyarakat dapat berjuang untuk hak-hak dasar mereka, bahkan di tengah dominasi kekuasaan yang mungkin tampak tak tergoyahkan. 

Kita harus tetap bersuara dan berjuang,  demi kehidupan yang lebih baik bagi seluruh lapisan masyarakat.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama