Moral, Kebenaran, dan Politik: Sebuah Telaah Materialis


Niat Harus Baik My-Teafactory.blogspot.com

Standar Moral dalam Bingkai Materialisme Dialektis

Berbicara tentang apa yang baik selalu menjadi perdebatan yang rumit, moralitas bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebuah konstruksi yang tumbuh dalam konteks kebudayaan tertentu. Nyaris setiap kebudayaan memiliki standar moral yang berbeda-beda, ditentukan oleh kondisi sosial, ekonomi, dan historis masyarakatnya. Perspektif materialisme historis menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan refleksi dari cara produksi masyarakat. Oleh sebab itu, nilai baik dan buruk tidak bisa dilepaskan dari relasi produksi yang dominan dalam suatu zaman.

Jika menelisik lebih dalam, moralitas memiliki akar dalam kebutuhan manusia untuk bertahan hidup. Masyarakat berburu-meramu, misalnya, kerja sama dianggap sebagai kebajikan moral karena diperlukan untuk kelangsungan hidup kelompok.  Masyarakat feodal lain lagi, kesetiaan kepada raja atau tuan tanah menjadi standar moral utama karena mendukung tatanan produksi agraris. Sementara dalam kapitalisme, individualisme dan kompetisi menjadi nilai moral yang dijunjung karena sejalan dengan logika akumulasi modal.

Kebenaran dan Kesalahan: Konsekuensi Metodologis

Berbeda dengan konsep baik dan buruk yang bersandar pada nilai moral, konsep benar dan salah lebih dekat dengan konsekuensi metodologis. Benar atau salah dapat diverifikasi melalui metode berpikir, pengujian ilmiah, dan fakta-fakta yang dapat diukur. Dalam ranah ilmu pengetahuan, benar dan salah tidak bersandar pada keyakinan moral, melainkan pada metode yang dapat diuji dan direplikasi.

Namun, dalam praktik politik, batas antara kebenaran metodologis dan standar moral sering kali kabur. Banyak aktor politik menggunakan narasi moral untuk melegitimasi kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Kebenaran menjadi relatif ketika disajikan dalam bingkai kepentingan kelas tertentu, dalam sistem kapitalisme, misalnya, kebijakan ekonomi neoliberal sering kali dikemas dalam moralitas kerja keras dan meritokrasi, meskipun pada kenyataannya menciptakan jurang ketimpangan yang semakin dalam.

Niat Baik, Metode yang Salah

Hari ini, saya banyak berbincang dengan seorang kawan yang memiliki perspektif cukup menarik. Kawan saya adalah seseorang yang penuh semangat dan memiliki harapan besar bagi Indonesia: keadilan sosial, kesejahteraan, dan pemerintahan yang bersih. Ia percaya bahwa dengan moralitas yang kuat, para pemimpin dapat membawa perubahan yang lebih baik. Baginya, politik seharusnya dijalankan dengan niat baik, dan dari situlah kebijakan yang benar akan lahir.

Saya menghargai optimismenya, tetapi saya melihat ada celah dalam cara berpikirnya. Sejarah menunjukkan bahwa niat baik saja tidak cukup untuk menghasilkan perubahan sosial yang substantif. Seorang politisi bisa memiliki niat baik, tetapi jika ia menggunakan metode yang salah—misalnya, mengikuti arus kapitalisme global atau tunduk pada tekanan oligarki—maka kebijakan yang dihasilkan tidak akan berpihak pada rakyat. Contoh konkret adalah kasus korupsi dana haji atau politik uang yang tetap subur meskipun sering kali dibungkus dengan narasi kesejahteraan umat.

Moralitas dalam Ekonomi Politik

Jika standar moral semata dijadikan pedoman dalam politik tanpa mempertimbangkan kerangka materialisme historis, maka ia berisiko menjadi alat justifikasi status quo. Kapitalisme sebagai sistem ekonomi tidak hanya mengontrol produksi material, tetapi juga produksi ideologi, termasuk moralitas yang beredar di masyarakat, dalam logika kapitalisme, eksploitasi buruh bisa saja dibenarkan secara moral dengan dalih "keadilan pasar." Bahkan, ketimpangan ekonomi sering kali dilegitimasi dengan ide bahwa "setiap orang harus bekerja keras untuk sukses."

Namun, jika kita melihat dengan pendekatan materialisme dialektis, moralitas tidak bisa berdiri sendiri. Ia selalu terkait dengan struktur ekonomi dan kepentingan kelas. Oleh karena itu, perjuangan politik yang efektif harus berangkat dari analisis material, bukan sekadar mengandalkan niat baik. Dalam konteks ini, perubahan yang sesungguhnya hanya mungkin terjadi jika ada gerakan politik yang berbasis pada kesadaran kelas dan perjuangan struktural melawan sistem yang menindas.

Politik yang Berbasis pada Kebenaran Ilmiah

Moralitas tetap penting dalam politik, tetapi ia tidak bisa menjadi satu-satunya pedoman. Sejarah menunjukkan bahwa perubahan sosial yang signifikan selalu terjadi melalui perjuangan berbasis analisis material yang akurat. Niat baik harus didukung oleh metode yang benar, dan dalam konteks masyarakat kapitalis, metode yang benar berarti memahami relasi kelas dan bagaimana ekonomi politik bekerja.

Kawan saya mungkin memiliki impian yang mulia untuk Indonesia, tetapi jika hanya berpegang pada moralitas tanpa memahami dialektika sejarah, maka harapannya hanya akan berakhir sebagai utopia yang tak pernah terwujud. Politik sejati bukan sekadar tentang niat baik, tetapi juga tentang keberanian untuk mengubah struktur sosial yang menjadi dasar adanya ketimpangan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama