https://www.washingtonpost.com/lifestyle/2022/08/21/colorism-korea-skin-tone/
Niat baik untuk merawat tubuh, bersolek, dan mempercantik diri demi mendapatkan rasa percaya diri seringkali berujung pada kompleksitas yang tak terduga. Bagi mereka yang terlahir dengan paras rupawan, mungkin tak perlu banyak usaha untuk meraih kepercayaan diri dan kenyamanan dalam interaksi sosial. Namun, bagi yang tidak, tantangan hidup terasa lebih berat. Bagaimana tidak? Pamflet lowongan pekerjaan tak hanya mensyaratkan skill dan usia produktif, tetapi juga penampilan "good looking". Di tengah kegelisahan minimnya lapangan kerja, diskriminasi fisik masih terjadi, menambah beban hidup yang sudah berat.
Pertanyaannya, bagaimana definisi kecantikan terbentuk? Untuk apa standar ini dibuat? Sebab, jika kita merujuk pada kesan subjektif, kecantikan seharusnya ada pada mereka yang meyakini dirinya cantik. Namun, realitasnya, standar kecantikan telah menjadi alat kontrol dan eksploitasi dalam sistem kapitalisme modern.Bias Standar Kecantikan: Konsekuensi Eksploitasi Ketubuhan
Ada kebingungan besar terkait definisi kecantikan. Jika kita menengok ke belakang, standar kecantikan berbeda-beda tergantung budaya dan di mana tempat kita tinggal. Misalnya, bagi perempuan suku Karo di Ethiopia, kecantikan diidentikkan dengan luka-luka di kulit sebagai simbol kecantikan. Di suku Mursi, kecantikan diukur dari ukuran cakram di bibir. Namun, di Indonesia dan negara-negara kapitalis lain, standar kecantikan ditentukan oleh media massa dan industri kapitalis.
Standar ini terus berubah seiring tren fashion, memaksa individu untuk menyesuaikan penampilan mereka. Hal ini tidak hanya menghabiskan uang dan tenaga, tetapi juga menciptakan ketidaknyamanan psikologis. Dalam sistem kapitalisme, tubuh manusia khususnya perempuan telah menjadi komoditas yang dieksploitasi untuk menghasilkan keuntungan.
Produksi dan Reproduksi dalam Sistem Kapitalisme
Dalam perspektif Marxis, kapitalisme tidak hanya mengeksploitasi tenaga kerja, tetapi juga tubuh manusia sebagai alat produksi dan reproduksi. Industri kecantikan adalah salah satu bentuk eksploitasi ini. Melalui iklan dan media, dan berbagai teknik pemasarannya, kapitalis menciptakan kebutuhan palsu (false needs) yang membuat individu merasa tidak cukup cantik atau menarik tanpa produk mereka.
Proses ini adalah bagian dari reproduksi sosial di mana nilai-nilai yang berguna untuk akumulasi kapital direproduksi melalui budaya dan ideologi. Standar kecantikan yang sempit dan terus berubah adalah instrumen hegemoni untuk memastikan konsumsi terus berlangsung. Dengan demikian, tubuh manusia tidak lagi menjadi milik individu, tetapi menjadi medan pertempuran ekonomi di mana kapitalis mengeruk keuntungan.
Materialisme Dialektik dan Historis: Akar Masalah Kecantikan
Melalui lensa materialisme historis, standar kecantikan modern adalah produk dari perkembangan sejarah dan materil kondisi masyarakat. Pada masa pra-kapitalis, kecantikan seringkali terkait dengan simbol status atau ritual budaya. Namun, dalam masyarakat kapitalis, kecantikan menjadi komoditas yang diperjualbelikan.
Materialisme dialektik membantu kita memahami bagaimana kontradiksi dalam sistem kapitalis menciptakan masalah ini. Di satu sisi, industri kecantikan menjanjikan kebebasan dan kepercayaan diri. Di sisi lain, ia menciptakan ketergantungan dan ketidakpuasan yang abadi. Kontradiksi ini adalah motor penggerak yang memastikan roda kapitalisme terus berputar.
Globalisasi dan Homogenisasi Kecantikan
Globalisasi telah mempersempit definisi kecantikan menjadi standar yang homogen, didominasi oleh budaya Barat. Dalam kompetisi pasar, pemenangnya adalah mereka yang memiliki modal besar. Perusahaan-perusahaan kosmetik dan fashion terus melakukan inovasi untuk mempertahankan relevansi mereka, sementara konsumen terjebak dalam siklus konsumsi yang tak berujung.
Fenomena ini tidak terjadi secara alami, melainkan didorong oleh kekuatan modal besar yang menguasai industri kosmetik dan fashion. Perusahaan-perusahaan raksasa seperti L'Oréal, Estée Lauder, dan Unilever, serta merek fashion seperti Zara, H&M, dan Gucci, terus melakukan inovasi produk dan kampanye pemasaran untuk mempertahankan relevansi mereka di pasar global. Namun, di balik glamor dan janji-janji kecantikan, terdapat siklus konsumsi yang tak berujung, di mana konsumen terjebak dalam tekanan untuk selalu mengikuti tren terbaru.
Hal ini adalah bentuk imperialisme budaya, di mana nilai-nilai dan standar budaya dominan dipaksakan pada masyarakat lain. Akibatnya, keragaman budaya dan definisi kecantikan lokal terpinggirkan, digantikan oleh standar yang seragam dan eksklusif.
Jalan Alternatif
Dalam menghadapi masalah eksploitasi ketubuhan dan standar kecantikan yang timpang, kita tidak bisa hanya berhenti pada kesadaran individual. Masalah ini adalah buah dari sistem yang lebih besar, sehingga solusinya pun harus bersifat kolektif dan sistemik. Pertama-tama, kesadaran kritis harus dibangun secara masif. Masyarakat perlu diajak untuk memahami bagaimana industri kecantikan dan media massa bekerja sebagai alat hegemoni kapitalis. Pendidikan dan literasi media menjadi kunci untuk membongkar manipulasi yang terjadi. Ketika individu menyadari bahwa standar kecantikan adalah konstruksi sosial yang dirancang untuk menghasilkan keuntungan, mereka akan lebih mampu menolak tekanan untuk mengikuti tren yang tidak manusiawi.
Namun, kesadaran saja tidak cukup. Kita perlu merangkul kembali keragaman budaya yang telah terpinggirkan oleh globalisasi. Setiap budaya memiliki definisi kecantikannya sendiri, yang seringkali lebih inklusif dan manusiawi dibandingkan standar yang dipaksakan oleh industri kapitalis. Dengan merayakan dan memberdayakan definisi kecantikan lokal, kita tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga menciptakan ruang untuk resistensi terhadap homogenisasi global. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap imperialisme budaya yang selama ini mendominasi.
Di sisi lain, negara memiliki peran penting dalam mengatur industri kecantikan. Regulasi yang ketat diperlukan untuk mencegah praktik eksploitasi dan manipulasi. Misalnya, iklan yang menggunakan standar kecantikan tidak realistis atau merugikan kesehatan mental harus dilarang. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa industri kecantikan tidak mengeksploitasi pekerja, terutama perempuan, yang seringkali menjadi korban utama dalam rantai produksi kosmetik dan fashion. Tanpa intervensi negara, industri ini akan terus menciptakan ketimpangan dan penderitaan.
Gerakan sosial juga menjadi kekuatan penting dalam melawan hegemoni kapitalis. Gerakan seperti body positivity dan fat acceptance telah membuka mata banyak orang tentang pentingnya menerima keragaman tubuh. Gerakan-gerakan ini tidak hanya tentang mencintai diri sendiri, tetapi juga tentang menantang sistem yang menindas. Mereka adalah bentuk perlawanan kolektif terhadap standar kecantikan yang tidak adil. Dukungan terhadap gerakan-gerakan semacam ini harus diperluas, karena mereka memiliki potensi untuk mengubah narasi dominan tentang kecantikan.
Terakhir, kita perlu memikirkan model ekonomi alternatif yang lebih adil. Sistem kapitalis, dengan logika akumulasi modalnya, telah menciptakan ketimpangan dan eksploitasi di berbagai sektor, termasuk industri kecantikan. Model ekonomi kerakyatan, seperti koperasi atau usaha kolektif, dapat menjadi jawaban. Dalam model ini, keuntungan tidak hanya dinikmati oleh segelintir pemilik modal, tetapi didistribusikan secara lebih merata kepada semua pihak yang terlibat. Dengan demikian, kita dapat mengurangi ketergantungan pada industri kapitalis yang eksploitatif dan menciptakan sistem yang lebih manusiawi.
Pada akhirnya, kecantikan seharusnya bukanlah komoditas yang diperjualbelikan, tetapi ekspresi diri yang bebas dan beragam. Hanya dengan melawan sistem yang menindas, kita dapat mencapai definisi kecantikan yang benar-benar membebaskan.