Pemerintah Cerminan dari Rakyat, atau Rakyat Cerminan dari Pemerintah?


Warga menjarah buah muatan truk yang terguling di Tol Gempol, Sidoarjo (Foto: Suparno/detikJatim)

Fenomena sosial yang terjadi di Indonesia, seperti penjarahan truk pengangkut buah yang mengalami kecelakaan, telah memicu perdebatan serius di kalangan warganet. Banyak yang beranggapan bahwa tindakan rakyat tersebut merupakan cerminan dari pemerintah yang koruptif. Namun, benarkah demikian? Ataukah sebaliknya, pemerintah justru merupakan cerminan dari kondisi materil rakyat yang tertekan oleh sistem kapitalisme global? 

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat fenomena ini melalui pisau analisis ekonomi politik Marxis, khususnya dengan perspektif materialisme historis dan materialisme dialektik, serta analisis klas. 

Basis dan Suprastruktur: Penjarahan sebagai Ekspresi Krisis Kapitalisme

Dalam masyarakat kapitalis, relasi produksi menentukan struktur sosial dan politik. Indonesia, sebagai negara kapitalis pinggiran dalam sistem kapitalisme global, mengalami ketimpangan ekonomi yang akut akibat subordinasi ekonomi terhadap kapital internasional. Kapitalisme di negara-negara semiperiferi seperti Indonesia cenderung mengandalkan eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja murah, dengan negara berperan sebagai fasilitator bagi kepentingan modal.

Dalam konteks ini, rakyat pekerja termasuk buruh, petani, dan kaum miskin kota tidak memiliki akses memadai terhadap alat produksi. Mereka dipaksa bergantung pada pasar tenaga kerja yang eksploitatif, di mana upah sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ketika harga kebutuhan pokok naik, sementara upah stagnan atau bahkan turun, rakyat terdesak untuk mencari cara bertahan hidup.

Penjarahan bukan hanya sekadar akibat dari "moralitas yang menurun" atau "krisis sosial," seperti yang sering diklaim oleh media arus utama, melainkan cerminan dari bagaimana ketidakadilan struktural memaksa rakyat untuk mengambil kembali sebagian dari nilai lebih yang telah dirampas dari mereka. Dalam perspektif ini, tindakan rakyat bukanlah sekadar pencurian, melainkan bentuk perlawanan terhadap kondisi eksploitasi yang mereka hadapi sehari-hari.

Data dari Bank Dunia (2022) menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan nasional, sementara 50% penduduk termiskin hanya menguasai 3,5%. Ketimpangan ini diperparah oleh kebijakan pemerintah yang seringkali berpihak pada kepentingan kapitalis, seperti pemberian insentif fiskal kepada korporasi besar sementara layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan tetap terabaikan. 

Kontradiksi Kapitalisme: Konsumsi vs. Produksi

Kapitalisme memiliki kontradiksi mendasar antara produksi dan konsumsi. Di satu sisi, sistem ini terus mendorong produksi dalam skala besar demi akumulasi keuntungan. Namun, di sisi lain, kapitalisme membatasi daya beli kelas pekerja dengan upah murah dan eksploitasi berlebihan. Akibatnya, muncul surplus produksi yang tidak dapat terserap oleh pasar domestik karena mayoritas rakyat tidak mampu membeli barang yang mereka produksi sendiri.

Dalam kasus penjarahan truk buah, kita melihat bagaimana hasil produksi yang seharusnya dikonsumsi oleh rakyat justru terhambat oleh logika kapital. Buah-buahan yang diangkut oleh truk tersebut bukanlah barang yang bisa diakses dengan mudah oleh kelas pekerja karena harga di pasar dikendalikan oleh mekanisme kapitalisme, yang lebih mengutamakan keuntungan bagi pemilik modal ketimbang pemenuhan kebutuhan rakyat.

Jika kapitalisme berfungsi sebagaimana yang diklaim oleh para ekonom borjuis sebagai sistem yang efisien dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat maka tidak seharusnya terjadi kelangkaan atau keterbatasan akses terhadap pangan. Namun, kenyataannya, kapitalisme justru menciptakan kelaparan di tengah kelimpahan. Seperti yang dikatakan Jean Ziegler, seorang sosiolog Swiss, “Setiap lima detik, satu anak di bawah usia sepuluh tahun meninggal karena kelaparan. Ini terjadi bukan karena kurangnya pangan, tetapi karena sistem yang menciptakan kelangkaan buatan.”

Negara dalam Kapitalisme: Alat Borjuasi untuk Mengontrol Kelas Pekerja

Sebagai bagian dari suprastruktur, negara dalam kapitalisme berfungsi untuk melindungi kepentingan kelas kapitalis, bukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Kebijakan ekonomi neoliberal yang diterapkan di Indonesia sejak era Orde Baru hingga hari ini telah memperburuk kondisi rakyat pekerja. Privatisasi sektor publik, pemotongan subsidi, dan fleksibilisasi tenaga kerja adalah contoh bagaimana negara justru mempermudah eksploitasi rakyat demi akumulasi kapital.

Ketika rakyat melakukan penjarahan, respons negara hampir selalu represif. Aparat keamanan sering kali diterjunkan untuk mengamankan "milik swasta" dengan dalih menjaga stabilitas, tetapi tidak ada upaya serius untuk menangani akar masalah ketimpangan itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa negara tidak netral, melainkan alat kelas borjuis untuk mempertahankan dominasinya atas kelas pekerja.

Penjarahan sebagai Bentuk Perlawanan Kelas

Penjarahan dalam masyarakat kapitalis sering kali dianggap sebagai tindakan ilegal, tetapi jika dilihat dari perspektif kelas, fenomena ini justru merupakan respons terhadap ketidakadilan struktural. Dalam sejarah perjuangan kelas, kita melihat bahwa perampasan kembali (expropriation) oleh rakyat bukanlah hal baru.

Misalnya, dalam Revolusi Prancis 1789, kaum tani dan pekerja kota menyerbu lumbung gandum para aristokrat karena mereka kelaparan sementara golongan elite menimbun pangan. Pada era Depresi Besar 1930-an di Amerika Serikat, buruh yang kehilangan pekerjaan sering kali mengambil alih lahan dan rumah yang sebelumnya disita oleh bank.

Di Amerika Latin, gerakan "recuperación de empresas" di Argentina pada awal 2000-an menunjukkan bagaimana kelas pekerja merespons krisis ekonomi dengan mengambil alih pabrik yang ditinggalkan oleh kapitalis dan mengoperasikannya secara kolektif.

Penjarahan truk buah di Indonesia bisa dilihat sebagai bagian dari pola perlawanan spontan terhadap kapitalisme. Namun, seperti semua bentuk perlawanan spontan, ia memiliki keterbatasan karena tidak memiliki kesadaran kelas yang terorganisir. Agar dapat menjadi alat perjuangan yang lebih efektif, aksi-aksi seperti ini perlu terhubung dengan gerakan yang lebih luas untuk menumbangkan sistem kapitalisme itu sendiri.

Kesimpulan: Dari Resistensi Spontan ke Kesadaran Revolusioner

Fenomena penjarahan truk buah bukan sekadar tindakan kriminal atau degradasi moral rakyat, tetapi ekspresi dari krisis kapitalisme yang menciptakan ketimpangan ekstrem. Dalam perspektif kelas, kita melihat bahwa tindakan ini merupakan refleksi dari kontradiksi dalam sistem kapitalisme, di mana produksi untuk keuntungan mengalahkan kebutuhan rakyat.

Namun, resistensi spontan semacam ini tidak cukup untuk mengubah kondisi secara fundamental. Untuk benar-benar melawan kapitalisme, kelas pekerja perlu mengorganisir diri dalam perjuangan yang lebih sistematis. Kesadaran kelas tidak bisa muncul hanya dari pengalaman sehari-hari, tetapi harus dipupuk melalui pendidikan politik dan aksi kolektif yang lebih besar.

Selama kapitalisme masih menjadi sistem dominan, fenomena seperti penjarahan akan terus berulang. Satu-satunya solusi jangka panjang adalah menciptakan sistem ekonomi yang berbasis pada kepemilikan kolektif atas alat produksi, di mana rakyat tidak lagi harus mencuri dari surplus yang sebenarnya mereka hasilkan sendiri.

Seperti kata Marx, "Kaum buruh tidak punya apa pun selain rantai yang membelenggunya; mereka tidak punya apa pun untuk hilang, kecuali dunia yang harus dimenangkan."

Referensi:
1. Bank Dunia (2022). "Indonesia Economic Prospects".  
2. Marx, K. (1867). "Das Kapital".  

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama