Organisasi Mahasiswa dalam Cengkeraman Kapitalisme: Hegemoni, Reproduksi Kuasa, dan Kegagalan Revolusi


Pendidikan tinggi sejak lama telah menjadi bagian dari strategi kapitalisme dalam mempertahankan dominasinya. Kampus bukan sekadar ruang produksi ilmu, tetapi juga alat reproduksi ideologi yang memastikan tatanan ekonomi kapitalis tetap berjalan. Ia mencetak tenaga kerja bagi industri sekaligus membentuk teknokrat yang siap melanggengkan eksploitasi. Kapitalisme tidak hanya bekerja melalui represi, tetapi juga melalui hegemoni ideologis, mengontrol kesadaran agar menerima sistem ini sebagai sesuatu yang alamiah dan tak terhindarkan.

Komersialisasi pendidikan tinggi adalah manifestasi nyata dari bagaimana kapitalisme merangsek ke dunia intelektual. Biaya pendidikan yang mahal menciptakan jurang yang semakin lebar antara mereka yang mampu dan tidak, sekaligus memaksa mahasiswa untuk melihat pendidikan sebagai investasi pribadi, bukan alat pembebasan kolektif. Pada akhirnya, mahasiswa lebih terdorong untuk mencari mobilitas sosial ketimbang menggugat ketimpangan struktural.

Gerakan Mahasiswa: Dari Revolusi ke Reformisme

Sejarah menunjukkan bahwa mahasiswa di beberapa titik memang pernah bergerak, turun ke jalan, dan menuntut perubahan. Namun, pertanyaannya adalah: perubahan seperti apa yang mereka tawarkan? Apakah perubahan itu bersifat revolusioner, atau justru hanya menjadi bagian dari proyek restorasi kapital?

Pasca tahun 1966 dan 1998, gerakan mahasiswa lebih sering bersifat reformis ketimbang revolusioner. Mereka menuntut demokrasi, tetapi dalam kerangka yang tetap menjaga keberlanjutan kapitalisme. Mereka menolak kediktatoran, tetapi tidak mempertanyakan sistem yang menciptakan kediktatoran itu sendiri. Kesadaran mereka tidak lahir dari analisis materil tentang eksploitasi kelas, melainkan dari narasi-narasi liberal yang pada akhirnya hanya menguntungkan borjuasi.

Gerakan mahasiswa hari ini semakin kehilangan arah. Kampus yang telah dikendalikan oleh kepentingan kapital membuat akses terhadap teori-teori revolusioner semakin terbatas. Dengan adanya TAP MPR yang melarang ajaran Marxis, semakin sulit bagi mahasiswa untuk mengakses pemahaman MDH secara utuh. Akibatnya, mayoritas mahasiswa justru lebih mudah terserap ke dalam ideologi reformis yang tidak menggugat sistem secara fundamental.

Organisasi Mahasiswa dan Reproduksi Kuasa

Sebagian besar organisasi mahasiswa di Indonesia tidak jauh berbeda dari struktur kuasa dalam kapitalisme itu sendiri. Hierarki yang kaku, senioritas yang menekan, serta patronase yang menghubungkan mereka dengan partai politik dan kekuasaan menjadikan organisasi mahasiswa lebih mirip sebagai jalur mobilitas sosial bagi segelintir individu ketimbang sebagai alat perjuangan kelas.

Mahasiswa yang masuk ke dalam organisasi ini sering kali tidak dididik untuk menjadi bagian dari gerakan rakyat, tetapi untuk menjadi bagian dari sistem. Mereka diarahkan untuk menjadi politisi, birokrat, atau teknokrat yang kelak akan mengelola kepentingan kapitalisme. Relasi kuasa dalam organisasi mahasiswa ini juga kerap mereproduksi struktur yang sama dengan hubungan borjuasi dan proletariat di mana mereka yang berada di puncak struktur organisasi memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya dan koneksi politik, sementara anggota di bawah hanya menjadi massa pendukung tanpa otonomi politik yang jelas.

Tak jarang, organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan partai politik borjuis justru lebih sibuk membangun jaringan untuk kepentingan karier pribadi ketimbang memperjuangkan kepentingan kelas tertindas. Mereka yang seharusnya menjadi oposisi sistem justru bertransformasi menjadi kader partai, masuk ke dalam parlemen, dan akhirnya menjadi bagian dari mesin negara yang tetap mempertahankan kapitalisme.

Mahasiswa dan Lumpen proletariat

Dalam sistem kapitalisme hari ini, mahasiswa tidak memiliki posisi kelas yang jelas. Mereka bukan kelas pekerja yang dieksploitasi dalam produksi komoditas, tetapi juga bukan borjuasi yang memiliki alat produksi. Mereka lebih dekat dengan kategori lumpen proletariat sebuah kelompok yang tidak memiliki keterkaitan langsung dalam proses produksi kapital, tetapi tetap berperan dalam mempertahankan sistem ini.

Lumpen proletariat dalam sejarah lebih sering dimanfaatkan oleh borjuasi untuk melawan gerakan revolusioner ketimbang menjadi bagian dari perjuangan kelas itu sendiri. Di Indonesia, mahasiswa sering kali menjadi alat kompromi politik, digerakkan untuk kepentingan elite, dan pada akhirnya meninggalkan perjuangan ketika sudah mendapat posisi yang diinginkan.

Selama organisasi mahasiswa tetap berada dalam cengkeraman kapitalisme, selama mereka tetap beroperasi dalam kerangka yang tidak mempertanyakan akar persoalan, maka mereka bukanlah bagian dari solusi. Mereka justru menjadi bagian dari masalah, menjadi penghambat revolusi.

Jika masih ada intelektual yang sadar kelas, mereka tidak bisa lagi menaruh harapan pada organisasi mahasiswa yang ada. Sebaliknya, mereka harus melebur dengan gerakan buruh dan rakyat tertindas. Sejarah telah membuktikan bahwa hanya kelas pekerja yang memiliki kepentingan objektif untuk menghancurkan kapitalisme.

Revolusi tidak akan lahir dari ruang-ruang diskusi di kampus, tidak akan lahir dari orasi-orasi mahasiswa yang hanya menjadi alat tawar-menawar dengan kekuasaan. Revolusi hanya akan lahir dari mereka yang benar-benar merasakan eksploitasi secara langsung. buruh yang diperas tenaganya, petani yang dirampas tanahnya, dan kaum miskin kota yang dihisap habis-habisan oleh kepentingan kapital.

Jika mahasiswa hari ini ingin benar-benar berkontribusi dalam perjuangan kelas, mereka harus meninggalkan ilusi reformisme dan melawan sistem pendidikan yang telah dikomodifikasi. Mereka harus melepaskan diri dari organisasi mahasiswa yang terjebak dalam politik senioritas dan patronase borjuis. Mereka harus turun ke basis-basis kelas pekerja, memahami realitas eksploitasi yang sesungguhnya, dan berjuang dalam barisan yang benar bersama kaum buruh dan rakyat tertindas.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama