Militer, Kekuasaan, dan Struktur Kelas


Suharto, Pahlawan tanpa Tanda Layak | GEOTIMES

Sejarah panjang peradaban manusia membuktikan militer selalu menjadi instrumen utama dalam mempertahankan, memperluas, atau menggulingkan kekuasaan. Lebih dari sekadar alat pertahanan negara, militer kerap menjadi perpanjangan tangan kelas yang berkuasa, baik dalam masyarakat feodal, kapitalis, maupun negara-negara pascakolonial. Menggunakan analisis materialisme dialektik dan historis, kita dapat memahami bagaimana peran militer tidak pernah netral, melainkan selalu berakar pada struktur ekonomi dan dinamika kelas sosial yang mendasarinya.

Militer dalam Sejarah: Dari Feodalisme hingga Kapitalisme

Dalam masyarakat feodal, tentara adalah kepanjangan tangan kaum aristokrat yang memiliki tanah. Raja atau bangsawan mengendalikan pasukan sebagai alat dominasi atas petani dan pekerja tani. Di Eropa abad pertengahan, misalnya, pasukan kerajaan dan tentara bayaran digunakan untuk menekan pemberontakan petani yang sering kali muncul akibat pajak yang memberatkan. Pemberontakan petani Jerman pada awal abad ke-16 adalah contoh nyata di mana kekuatan militer digunakan untuk menumpas gerakan rakyat yang menuntut perubahan sosial dan ekonomi.

Seiring berkembangnya kapitalisme, peran militer mengalami transformasi. Negara kapitalis modern membutuhkan tentara profesional yang terlepas dari loyalitas feodal. Namun, di sisi lain, militer tetap menjadi instrumen dominasi kelas kapitalis. Revolusi industri mempercepat pembentukan negara-bangsa modern, dan militer digunakan untuk melindungi kepentingan borjuasi, baik dalam menumpas gerakan pekerja maupun dalam ekspansi kolonial.

Militer sebagai Alat Represi Kelas dalam Negara Kapitalis

Banyak negara kapitalis, menjadikan militer aktor kunci dalam mempertahankan status quo. Contoh klasik adalah Perancis pada masa Komune Paris tahun 1871. Ketika kelas pekerja merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan yang berbasis pada demokrasi langsung, pemerintah kapitalis yang terguling bersekutu dengan Prusia untuk menumpas Komune dengan kekuatan militer. Ribuan buruh dieksekusi dan dikirim ke pengasingan, membuktikan bahwa negara dan militernya lebih mengabdi pada kepentingan kelas penguasa ketimbang rakyat.

Peristiwa serupa terjadi di Indonesia pasca-1965, ketika militer memainkan peran sentral dalam pembantaian massal yang menewaskan ratusan ribu anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalih yang di gunakan adalah untuk menjaga stabilitas nasional, dengan demikian, militer justru menjadi instrumen kekerasan yang memastikan kepentingan kapital internasional tetap berjalan di bawah rezim Orde Baru. Modal asing masuk tanpa hambatan, serikat buruh diberangus, dan segala bentuk oposisi direpresi dengan cara militeristik.

Militer dan Otoritarianisme dalam Negara Pascakolonial

Militer sering kali mengisi kekosongan kekuasaan pasca peninggalan kolonialisme. Namun, alih-alih menjadi alat pembebasan rakyat, banyak militer justru bertindak sebagai kelas predator baru yang menggantikan peran kolonial lama.

Contoh yang menonjol adalah rezim militer di Amerika Latin sepanjang abad ke-20. Kudeta militer yang dipimpin oleh Augusto Pinochet pada 1973 Di Chili, menggulingkan pemerintahan sosialis Salvador Allende. Dengan dukungan kapital internasional, terutama Amerika Serikat, Pinochet menjalankan kebijakan neoliberal yang menghancurkan kesejahteraan kelas pekerja. Kampanye penindasan, yang mencakup penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap ribuan aktivis, menunjukkan bagaimana militer berfungsi sebagai pelindung kapitalisme global.

peristiwa serupa terjadi di Mesir, di mana militer telah lama menjadi penguasa de facto, bahkan setelah revolusi 2011 yang menggulingkan Hosni Mubarak. Militer tidak hanya mengontrol kekuatan politik, tetapi juga memiliki jaringan bisnis yang luas, menjadikannya bagian dari kelas kapitalis yang mengeksploitasi tenaga kerja dan sumber daya nasional demi kepentingan elite.

Mengapa Militer Tidak Pernah Netral?

Berbagai contoh di atas, menjelaskan bahwa militer bukanlah entitas yang netral atau sekadar penjaga stabilitas nasional. Setiap tahap perkembangan sejarah, militer selalu berfungsi sebagai alat bagi kelas yang berkuasa untuk mempertahankan dominasinya. Militer di bawah kapitalisme, semakin erat dengan kepentingan modal, baik dalam menekan gerakan sosial, menegakkan rezim otoriter, maupun mendukung ekspansi ekonomi imperialis.

Pada masa Orde Baru di Indonesia, militer secara aktif mengontrol sektor ekonomi melalui kepemilikan perusahaan dan koneksi bisnis. Yayasan-yayasan militer seperti Yayasan Kartika Eka Paksi (TNI AD), Yayasan Adi Upaya (TNI AU), dan Yayasan Bhumyamca (TNI AL) memiliki investasi besar di berbagai sektor, dari perkebunan hingga industri strategis. Militer juga terlibat dalam pembukaan lahan bagi investasi perkebunan skala besar, sering kali dengan cara-cara represif terhadap masyarakat adat dan petani.

Keterlibatan militer dalam bisnis migas dan pertambangan juga tidak bisa diabaikan. Sejak era Soeharto hingga reformasi, militer memiliki peran penting dalam mengamankan proyek-proyek seperti Freeport di Papua, di mana aparat militer mendapatkan keuntungan langsung dari pengamanan aset kapital asing tersebut. Perlawanan masyarakat lokal terhadap eksploitasi sumber daya alam sering kali dihadapi dengan represif oleh aparat militer dan kepolisian.

Setelah reformasi 1998, meskipun ada upaya untuk membatasi peran militer dalam politik dan ekonomi, kenyataannya banyak pensiunan perwira tinggi masih aktif dalam struktur pemerintahan dan bisnis. Para mantan jenderal sering kali menempati posisi strategis di kementerian, BUMN, dan perusahaan swasta, membawa serta koneksi mereka di militer untuk mempermudah akumulasi kapital.

Contoh konkret adalah bagaimana mantan perwira tinggi mendapatkan posisi sebagai komisaris di perusahaan-perusahaan tambang, perkebunan, dan infrastruktur. Ini memperlihatkan bahwa meskipun secara formal mereka sudah pensiun dari dinas militer, pengaruh mereka tetap kuat dalam menjaga dominasi kelas kapitalis.

Salah satu kasus yang mencerminkan bagaimana pensiunan militer berperan dalam mengamankan investasi adalah proyek perkebunan sawit di Kalimantan dan Sumatra. Konflik lahan antara korporasi sawit dan masyarakat adat sering kali melibatkan aparat militer atau eks-militer sebagai pengaman kepentingan perusahaan. Para pensiunan jenderal yang menjabat sebagai petinggi perusahaan ini sering kali menggunakan jaringan mereka untuk memastikan bahwa ekspansi kapital tetap berjalan tanpa gangguan.

kritik terhadap peran militer tidak bisa dilepaskan dari kritik terhadap struktur kelas yang menopangnya. Selama kapitalisme masih menjadi sistem ekonomi yang dominan, militer akan terus menjadi instrumen dominasi, bukan hanya dalam arti represif, tetapi juga dalam reproduksi ketimpangan kelas yang lebih luas. Oleh sebab itu, perjuangan untuk membatasi atau mengontrol kekuatan militer tidak bisa sekadar dilakukan melalui jalur hukum atau reformasi institusional semata, tetapi harus dikaitkan dengan perjuangan yang lebih luas untuk mengubah struktur ekonomi dan politik yang melahirkannya.

Militer dan Kelas dalam Perspektif Marxis

Sejarah menunjukkan bahwa militer kerap digunakan sebagai instrumen untuk mempertahankan kekuasaan borjuasi. Di banyak negara, termasuk Indonesia, militer telah berulang kali diturunkan untuk membungkam perlawanan rakyat, baik dalam bentuk pemogokan buruh, demonstrasi petani, maupun gerakan politik yang menuntut perubahan.

Berbeda dengan peran militer dalam masyarakat sosialis, peran militer mengalami transformasi fundamental. Ia tidak boleh menjadi institusi yang berdiri di atas rakyat, tetapi harus diintegrasikan ke dalam masyarakat sebagai bagian dari pertahanan kolektif. Tidak boleh ada kelas khusus yang memiliki monopoli atas kekerasan, karena itu hanya akan melahirkan bentuk baru dari dominasi.

Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis menekankan bahwa dalam negara proletariat, angkatan bersenjata profesional harus dihapuskan dan digantikan dengan rakyat bersenjata. Artinya, tidak ada tentara permanen yang dapat digunakan untuk menekan rakyat. Angkatan bersenjata harus berada di bawah kontrol demokratis dan tidak boleh memiliki kepentingan ekonomi sendiri.

Namun, dalam konteks kapitalisme Indonesia saat ini, perubahan semacam itu masih jauh dari kenyataan. Selama struktur ekonomi dan politik masih berpihak pada kapital, militer akan tetap menjadi alat untuk mempertahankan ketimpangan. Oleh karena itu, perjuangan untuk membatasi dominasi militer tidak cukup hanya dengan reformasi institusional, tetapi harus menjadi bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk merombak sistem ekonomi-politik yang memungkinkan eksploitasi dan penindasan terus berlangsung.

Pada akhirnya, yang harus kita sadari, mengutip Lenin bahwa "Setiap negara adalah alat kekuasaan satu kelas atas kelas lainnya; dan militer adalah palu yang digunakan untuk menghancurkan perlawanan rakyat." ~Vladimir Lenin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama