Pernahkah sekilas lewat reels video di Instagram kamu, segerombol orang yang menghadang pengendara motor di atas trotoar? Biasanya dibumbui dengan musik dramatis, efek slow-motion, dan ekspresi puas dari sang "penegak" sipil setelah berhasil memaksa si pengendara putar balik. Sekilas tampak heroik, seperti cuplikan adegan film aksi kelas menengah yang sederhana, penuh semangat moral, dan tampak bermanfaat.
Namun, di balik semua itu, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya "benarkah ini bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan? Atau justru kita sedang menonton sebuah bentuk baru dari ilusi ketertiban, di mana warga sipil mencoba mengisi kekosongan negara dengan cara yang prematur dan berbahaya?"
Saya menyebut mereka "Batman Jalanan" bukan karena mereka pahlawan, melainkan karena mereka seperti karakter fiksi Gotham yang beraksi di tengah kekacauan kota. Batman muncul karena Gotham gagal mengurus warganya. Ia menjadi vigilante karena institusi hukum mandul. Tapi, seperti halnya Gotham, kita perlu bertanya "apakah kehadiran Batman menyembuhkan atau hanya menambal?"
Seperti yang kita tahu, dalam sistem negara modern, penegakan hukum adalah otoritas yang tak boleh sembarangan dipegang. Ia bukan sekadar soal niat baik atau keberanian. Ia adalah kekuasaan yang melekat pada institusi, disertai akuntabilitas dan batas.
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara tegas memberi wewenang pada kepolisian untuk melakukan penindakan atas pelanggaran lalu lintas. Ketika warga sipil mengambil alih fungsi ini, maka bukan hanya terjadi kekacauan dalam distribusi kewenangan, tapi juga dalam logika keadilan. Sipil yang menegakkan hukum tanpa perlindungan hukum, bisa dengan mudah terseret dalam kekerasan, atau justru menjadi pelaku intimidasi. ketika semua itu direkam lalu disebarkan dengan bangga, kita bukan sedang menciptakan kesadaran hukum, melainkan hanya sedang menikmati sensasi moral palsu.
Yang paling mengkhawatirkan bukan hanya karena ini bentuk vigilante, tetapi karena negara seolah membiarkannya terjadi. Ini adalah tanda bahwa otoritas resmi, yakni polisi lalu lintas, tidak menjalankan tugasnya secara optimal. Kekosongan itulah yang lalu diisi oleh warga, dengan segala keterbatasan, dan justru memperpanjang akar persoalan.
Pelanggaran Sebagai Simtom, Bukan Penyakit
Kita harus berhenti melihat pelanggaran lalu lintas sebagai penyakit sosial semata. Ia lebih tepat dilihat sebagai simtom dari kerusakan sistemik. Dalam pendekatan materialisme historis, perilaku tidak pernah lahir dari ruang hampa, tapi selalu berakar pada struktur materil yang melingkupi kehidupan sehari-hari manusia.
Jalan yang sempit, trotoar yang tak layak, kemacetan yang tak berujung, dan transportasi publik yang buruk adalah realitas yang mendorong warga untuk mengambil jalur pintas secara harfiah. Mereka bukan semata-mata individu bebal, tapi subjek dari sistem yang gagal.
Data dari Kementerian PUPR tahun 2022 menunjukkan bahwa hanya 23% trotoar di kota-kota besar yang memenuhi standar kenyamanan dan keselamatan. Di Jakarta, misalnya, tingkat kemacetan mencapai 34% menurut TomTom Traffic Index 2023, dan transportasi publik masih belum bisa menjangkau seluruh kota secara merata. Ini diperparah oleh fakta bahwa anggaran infrastruktur kota-kota besar masih bias terhadap kendaraan pribadi.
Konteks masalah seperti ini, pengendara motor yang naik ke trotoar memang bersalah, tapi mereka juga korban dari sistem kota yang tidak dirancang untuk manusia, melainkan untuk mesin. Jika kita hanya menyalahkan individu, maka kita jatuh ke dalam logika individualistik yang mengabaikan dimensi struktural dari pelanggaran itu sendiri. Seperti kata Joker dalam film The Dark Knight "You see, their morals, their code... it's a bad joke. Dropped at the first sign of trouble."
Komodifikasi Moral, Ketika Penertiban Jadi Cuan
Tak bisa dipungkiri, fenomena "Batman Jalanan" ini berkelindan erat dengan ekonomi digital. Lgika kapitalisme platform membuat segala hal bisa jadi konten, termasuk pelanggaran hukum. Dengan memproduksi video penertiban, para konten kreator ini sebenarnya sedang memasuki pasar visual, mereka menjual amarah, menjual konflik, menjual ilusi kepahlawanan.
Kita tidak sedang melihat gerakan sosial, tapi lebih pada pertunjukan moral yang dikurasi oleh algoritma. Ini bukan bentuk partisipasi demokratis, tetapi bentuk lain dari privatisasi hukum, ketika penegakan aturan tidak lagi jadi urusan bersama yang diatur oleh negara, tapi jadi tontonan yang ditentukan oleh jumlah view dan engagement.
Masalahnya, konten seperti ini tidak menyentuh akar persoalan. Ia tidak menuntut perbaikan infrastruktur. Tidak mendesak pemerintah untuk memperbaiki sistem transportasi. Ia hanya berputar di lingkaran mikro, menghukum pelanggar kecil tanpa pernah menyinggung pelanggaran besar yakni abainya negara.
Apa yang bisa kita lakukan adalah mulai dari membongkar ilusi ini. Bahwa ketertiban bukan sekadar soal siapa yang taat aturan, tapi tentang siapa yang menciptakan ruang yang membuat ketaatan itu mungkin.
Kita perlu membicarakan kota dan tata ruang. Membicarakan transportasi publik. Membicarakan hak pejalan kaki sebagai bagian dari hak publik. Alih-alih menjadi vigilante digital, kita bisa memilih peran yang lebih konstruktif.
Mendorong transparansi dalam anggaran pembangunan infrastruktur. Mengadvokasi kebijakan transportasi yang ramah warga. Mengkritisi alokasi dana untuk jalan tol, Dan tentu saja, mendesak aparat untuk kembali menjalankan perannya secara benar. Dari sini, masyarakat sipil bisa menemukan peran strategisnya, bukan menertibkan pelanggar, tapi menertibkan negara agar hadir.
Ketertiban adalah ketika tak ada lagi alasan bagi siapa pun untuk melanggar karena sistem telah membuat taat menjadi pilihan rasional dan manusiawi. Kita tak butuh lebih banyak kamera yang mengabadikan pelanggaran. Kita butuh lebih banyak ruang diskusi yang menggugat sistem. Kita tak perlu lebih banyak pahlawan jalanan, Kita butuh negara yang bertanggung jawab.
Kita semua, sebagai masyarakat sipil, seharusnya tidak menjadi penonton dari pertunjukan chaos ini. Kita seharusnya menjadi aktor yang sadar, bahwa perubahan tidak datang dari teguran individu, tapi dari transformasi kolektif yang menolak tunduk pada ilusi.
Sumber:
1. https://pu.go.id/berita/bangkitkan-budaya-jalan-kaki-pupr-rehabilitasi-trotoar-di-kawasan-perkotaan
2. https://www.tomtom.com/traffic-index/jakarta-traffic
3. https://indoprogress.com/2016/12/kekerasan-sipil-dan-kekuasaan-negara/