Menikah Adalah Membangun dan Melawan!

 


Engels, guru besar kita, telah membuka jendela sejarah dengan The Origin of the Family, Private Property, and the State. Ia menyingkap bahwa keluarga monogami modern lahir bukan dari cinta yang luhur, tetapi dari keinginan mengamankan warisan. Laki-laki menundukkan perempuan demi memastikan garis keturunannya. 

Keluarga nuklir lahir sebagai mesin pengontrol reproduksi, mesin pengatur warisan, mesin pengabdi negara. Hingga kini, ia beroperasi sebagai unit produksi sosial yang paling halus sekaligus paling brutal. Benar, Benar seratus persen untuk zamannya. 

Engels menulis di ujung abad ke-19, saat kapitalisme masih merangkak dalam gerbong mesin-mesin uap, pabrik tekstil, dan rel-rel baja. Saat buruh masih mengasapi paru-paru mereka dalam kegelapan pabrik. Dunia kita hari ini sudah jauh berlipat ganda dlam kerumitan. Kapitalisme tak lagi sekadar industri, ia menjelma finansialisme, dataisme, algoritma, techno-capitalism yang jauh lebih destruktif, jauh lebih halus, jauh lebih subtil.

Mari kita bicara jujur, kapitalisme hari ini tak sekadar mengontrol tenaga kerja dalam pabrik, ia menguasai atensi, emosi, relasi, bahkan hasrat-hasrat terdalam manusia. Hari ini, di layar-layar kecil itu, kapitalisme bekerja 24 jam penuh, membajak kesadaran sejak kita membuka mata hingga kita menutupnya. Pertanyaan mendasarnya, masihkah keluarga sekadar mesin reproduksi tenaga kerja? Ataukah kini ia menjadi lebih dari itu ladang pertempuran ideologi yang menentukan apakah spesies manusia bisa bertahan hidup dari kerakusan sistem yang ia ciptakan sendiri?

Cobq lihat keluarga hari ini, Ibu-ibu working mom diglorifikasi sebagai simbol kemajuan, tapi sesungguhnya mereka dipaksa memikul beban ganda, buruh di luar rumah dan buruh domestik di dalam rumah. Ayah-ayah ditanamkan etos produktivitas maskulin, bekerja lebih lama, lebih keras, lebih kompetitif. Anak-anak dibesarkan bukan sekadar menjadi manusia, tetapi human capital dari bimbingan belajar, sertifikasi, coding class sejak TK, bahasa asing sejak balita, semua demi survival di hutan rimba globalisasi.

Keluarga hari ini adalah pabrik kapitalisme tingkat molekular. Engels benar tapi itu analisis untuk kapitalisme industrial. Kapitalisme techno-financial tlah melangkah lebih jauh, keluarga hari ini bukan sekadar mesin reproduksi buruh, ia adalah mesin reproduksi kecemasan, ketakutan, kompetisi, dan ilusi kebahagiaan. Nqmun di sinilah Engels gagal membaca potensi subversif yang justru bisa lahir dari keluarga. Ia menganggap keluarga, dalam bentuk apapun, adalah alat represi patriarki dan kapitalisme. Ia luput melihat bahwa justru di tengah invasi kapitalisme yang makin dalam ke ruang privat, keluarga bisa menjadi benteng kecil terakhir untuk merawat kesadaran kelas. 

Mari kita belajar pada sejarah kecil yang sering diabaikan, bagaimana Lenin dan Nadezhda Krupskaya membangun pernikahan proletar mereka. Tanpa romantika borjuis, tanpa relasi dominasi. Mereka membangun rumah bukan untuk memproduksi warisan, melainkan untuk memproduksi kader-kader kesadaran. Rumah mereka bukan panggung cinta posesif, melainkan laboratorium ideologi. Mereka saling menopang bukan demi "bahagia" dalam pengertian picisan iklan pernikahan hari ini, tetapi karena saling menumbuhkan sebagai pejuang dalam perjuangan panjang pembebasan manusia. 

Mari kita tarik kesimpulan yang lebih radikal, pernikahan yang paling subversif hari ini adalah pernikahan yang sadar. Pernikahan yang menolak menjadi mesin kapital, menolak menjadikan anak sebagai komoditas prestasi, menolak rumah sebagai pabrik konsumsi. Pernikahan sesungguhnya adalah pernikahan yang menjadikan ruang domestik sebagai sekolah ideologi, laboratorium pengasuhan kolektif, benteng resistensi mental.

Kapitalisme yang kita lawan hari ini tak hanya menghisap tenaga kerja, ia menghisap mental manusia. Ia menjual definisi "bahagia" dalam bentuk pesta pernikahan mewah, rumah KPR dengan bunga bank mencekik, liburan keluarga ala Instagram, anak-anak sebagai trophy parents. Semua itu ladang laba. Semua itu ilusi kebahagiaan yang diciptakan pasar. Keluarga baru hari ini, bila ingin eksis sebagai subjek progresif, harus menolak seluruh definisi kebahagiaan borjuis itu.

Keluarga harus kembali menjadi komune kecil tempat solidaritas bukan sekadar basa-basi, tempat perempuan tak diposisikan sebagai buruh tak bergaji, tempat anak-anak dibesarkan dengan kesadaran kritis, bukan mental kompetitor untuk budak kapital. Kaum muda Gen Z yang kini banyak menunda menikah, resah pada pernikahan, atau takut berkeluarga karena ngeri terjebak dalam relasi eksploitatif, keresahan itu bukanlah salah. Keresahan itu adalah jeritan kesadaran akan jebakan kapitalisme.

Yang harus kita lakukan adalah membangun keluarga tandingan. Bangunlah rumah yang menghidupkan ide, bukan sekadar cicilan. Bangunlah pernikahan yang bukan kontrak legal ala borjuis, tetapi menggantinya dengan kontrak persekutuan perjuangan. Di dunia yang kian terasing, keluarga yang sadar bisa menjadi kantong-kantong kecil merawat nalar, menyalakan empati, menumbuhkan manusia-manusia bebas. Inilah paradoks zaman kita, kapitalisme ingin menguasai sampai ruang tidur kita, tetapi di situlah justru kita bisa meletakkan ranjau kecil perlawanan, keluarga progresif sebagai unit mikro perjuangan kelas.

Engels, mungkin tak sepenuhnya keliru. Tetapi hari ini, di bawah naungan techno-capitalism yang membius lebih canggih, kaum muda Marxis harus menambah satu bab baru dalam bukunya, "Keluarga bukan sekadar alat penindasan lama bila dibangun dengan sadar, ia bisa menjadi pabrik kecil pembebasan manusia.” 


Sumber

  1. Frederich Engels, 1884, Asal-usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan negara.
  2. Erich Fromm, 1956, Seni Mencintai.
  3. Pat Brewer, The Dispossession of Women: A Marxist Examination of New Evidence on the Origin of Women's Oppression. 
  4. Ayu Paranitha, 2019, Tekno Kapitalisme-Kolonialisme Digital.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama