Feredrich Engels menulis bahwa kesehatan merupakan indikator paling telanjang dari ketimpangan sosial. Ini dijelaskan dalam "The Condition of the Working Class in England", ia menggambarkan bagaimana kemiskinan bukan hanya soal kelaparan, tapi soal tubuh yang pelan-pelan dihancurkan oleh sistem. Lebih dari seabad kemudian, Indonesia menjelma jadi cermin baru dari warisan itu. Kini, tubuh bukan lagi sekadar ladang produksi kapital. Ia adalah target pasar. Ia adalah ladang laba.
Kita menyaksikan ironi paling brutal dalam dunia kedokteran kita, sistem pendidikan yang mahal, yang hanya dapat dimasuki oleh mereka yang memiliki modal besar, justru mencetak mereka yang konon akan menjadi pelayan kesehatan publik. Fakultas Kedokteran hari ini bukan sekadar kampus, tapi sudah berubahh menjadi pasar. Tempat di mana menjadi dokter bukan lagi soal pengabdian, tapi juga proyek investasi. Mereka yang masuk ke dalamnya tahu, biaya ratusan juta yang dikeluarkan akan kembali dengan bunga.
Di negeri ini, tubuh manusia menjadi objek komoditas paling sistematis. Menariknya, jalur menuju komodifikasi itu diawali dari kampus. Jalur mandiri Fakultas Kedokteran mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Biaya profesi dan koas bukan cuma mahal, tetapi juga menyingkirkan mereka yang tidak punya dukungan logistik ekonomi yang stabil. Pendidikan kedokteran, seperti pendidikan teknik atau hikum, telah dikooptasi oleh logika kapitalisme. Bourdieu menyebutnya sebagai medan akumulasi modal budaya yang sangat selektif, hanya mereka yang telah memiliki modal, yang akan diberi ruang untuk mengakumulasi lebih banyak kuasa.
Sejarah revolusioner Kuba membuka lebar perspektif kitq tentang pendidikan dan kesehatan, pendidikan kedokteran di Kuba justru menjadi alat pembebasan. Orang seperti Che Guevara misalnya, yang pernah menjadi mahasiswa kedokteran, tidak hanya selesai belajar di ruang kuliah, tetapi juga di lapangan, di desa-desa miskin Amerika Latin, di lorong-lorong sunyi penuh penderitaan. Bagi Che, dokter bukanlah sekadar profesi atau gelar, tetapi mereka yang mendapat panggilan kemanusiaan, mereka yang berpihak pada luka.
Pendidikan kedokteran di Kuba tidak hanya gratis, tetapi juga berbasis pengabdian. Mahasiswa belajar langsung di komunitas, dibentuk untuk menjadi penyembuh dalam makna sosial yang utuh. Di Indonesia, kita mengalami kebalikannya. Pendidikan kedokteran yang diserahkan kepada logika pasar hanya akan melahirkan profesionalisme semu. Seorang dokter mungkin hafal ratusan gejala dan penanganan penyakit, tetapi ia kering dari kesadaran kelas.
Dokter mungkin bisa menyebut kadar natrium pasien dengan presisi, tapi tak paham bagaimana kemiskinan struktural membentuk gejala sosial yang menjelma penyakit. Ia bisa bicara tentang gizi buruk, tetapi tak tahu bahwa distribusi kekayaan adalah akar dari stunting. Ia bisa menyuntik pasien, tapi tak mampu menyuntik sistem dengan kritik. Sementara itu, rakyat kecil terus berjuang untuk sekadar bisa bertemu dengan sang penyembuh.
Di daerah pinggiran, satu dokter harus melayani ribuan pasien, sedangkan di tempat-tempat yang jauh dari pusat, anak-anak tumbuh tanpa vaksin lengkap, perempuan melahirkan tanpa pendamping medis, dan lansia meninggal tanpa sempat diperiksa. Kesenjangan tenaga medis inj merupakan cermin dari distribusi kuasa yang timpang. Dalam logika kapitalisme, pelayanan kesehatan mengikuti logika pasar, dokter menumpuk di kota karena pasar di kota lebih menguntungkan.
Kapitalisme tak hanya merampas sumber daya alam, tetapi juga tubuh dan mental manusia. Ia menyusup ke dunia medis, merangkak di bawah kolong kasur pasien yang sekarat, dan menusuk mereka dari bawah dengan tagihan tinggi. Rumah sakit dijalankan seperti perusahaan, farmasi dikelola seperti korporasi, pendidikan dokter dijalankan seperti sekolah bisnis, dan kita semua, sebagai pasien, menjadi pasar yang diperebutkan.
Sialnya bagi mereka,tak semua cerita berhenti di situ. Kita bisa melihat dari sejarah bagaimana pendidikan kedokteran bisa menjadi alat perjuangan. Di Kuba, dokter-dokter tak hanya menyembuhkan, tetapi juga membangun kesadaran. Mereka dikirim ke pelosok dunia, dari Afrika hingga Asia, bukan sebagai misionaris kapital, tapi sebagai pelayan kemanusiaan. Mereka belajar tidak hanya tentang tubuh, tetapi juga tentang masyarakat. Mereka tidak hanya mengobati gejala, tapi memahami akar penindasan.
Terkait pendidikan kedokteran di Indonesia, jika pendidikan ingin dibebaskan dari logika pasar, maka ia harus terlebih dulu dikembalikan ke tangan rakyat. Pendidikan ini harus menjadi hak publik. Biaya kuliah musti ditekan serendah mungkin. Distribusi dokter harus diarahkan secara merata, bukan berdasarkan untung rugi. Yang lebih penting dari semua itu, pendidikan dokter harus dibangun di atas fondasi kesadaran kelas.
Sebab sesungguhnya, tubuh rakyat yang sakit hari ini bukan hanya karena virus, jamur, atau bakteri, tapi karena struktur, karena sistem. Logika kapitalisme yang membuat sehat jadi barang mewah. Hanya dengan dokter-dokter yang sadar akan akar masalah ini, kita bisa membayangkan sistem kesehatan yang benar-benar adil.
Dokter yang progresif adalah mereka yang tahu bahwa menyembuhkan luka tubuh tak cukup tanpa menyembuhkan luka sosial. Mereka tahu bahwa resep terbaik bukan hanya obat-obqtan medis, tapi juga distribusi tanah, upah layak, pendidikan dan layanan kesehatan gratis. Mereka bukan sekadar profesional medis, tetapi bagian dari perjuangan pembebasan manusia.
Saat ini, di tengah dunia yang tubuh manusianya dikapitalisasi habis-habisan, fakultas kedokteran tak boleh hanya melahirkan dokter tubuh. Ia harus melahirkan dokter rakyat, dan penyembuh itu, harus punya keberpihakan klas sosial yang jelas. "Medicine, like every other science, must serve the people. Not capital."
Referensi
1. Friedrich Engels, 1845, The Condition of the Working Class in England
2. Vicente Navarro, 1976, Medicine Under Capitalism
3. WHO Global Health Observatory, 2022–2023
4. Data Distribusi Tenaga Kesehatan Indonesia, Kemenkes 2023
5. PAHO & The Lancet: Studi sistem kesehatan Kuba
6. Che Guevara, The Motorcycle Diaries, serta pidato-pidatonya tentang kesehatan