Reportase Diskusi Buku: Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari

 


📅 Sabtu, 2 Agustus 2025

🕗 20.00 – 21.00 WIB

📍 Pelataran Taman GOR Untung Suropati, Kota Pasuruan

🔎 Pengulik: Galuh I. A.

🗣️ Moderator: M. Ilham (moderator pengganti)

“Tubuh Srintil, Tubuh Perempuan, Tubuh Sejarah”

Malam minggu di pelataran GOR Untung Suropati tak biasa. Sekelompok anak muda berkumpul untuk mengulik salah satu karya paling menggugah dalam sejarah sastra Indonesia: Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Diskusi kali ini digelar dalam rangka Diskusi Mingguan Wahana Baca, komunitas literasi jalanan di Kota Pasuruan.

Ilham, sebagai moderator malam itu, membuka diskusi dengan pertanyaan yang cukup bombastis: “kenapa buku ini buat panas telinga rezim?”

Menyusuri Dukuh yang Tak Pernah Benar-Benar Fiktif

Srintil adalah gadis dusun yang diyakini memiliki aura ronggeng sebuah jabatan budaya yang lebih dekat ke mistik dan simbolisme tubuh perempuan. Dukuh Paruk, tempat tinggalnya, adalah desa kecil yang terisolasi, namun juga kaya akan keyakinan, mitos, dan ilusi tentang kehormatan.

“Srintil adalah tubuh tempat sejarah, tradisi, dan kekuasaan saling berebut makna,” kata Galuh, pengkulik buku tersebut. “Dan itu membuat novel ini sangat relevan, terutama ketika kita bicara soal bagaimana budaya bisa menjajah perempuan dengan cara yang halus.”

Diskusi berkembang hingga menyentuh soal bukak klambu ritual seksual yang menjadi syarat pengesahan ronggeng. Peserta berdialog secara terbuka tentang bagaimana norma dan adat kadang menjadi alat penindasan sistemik, dan betapa perempuan desa sering menjadi korban yang direstui oleh tradisi.

Ronggeng dalam Badai Politik

Novel ini tidak berhenti pada isu gender. Di paruh kedua, Ronggeng Dukuh Paruk menyelami tragedi politik tahun 1965. Dukuh Paruk terseret arus gerakan kiri dan ketika rezim berganti, tubuh-tubuh seperti Srintil harus menanggung luka yang bahkan tak mereka pahami sepenuhnya.

Beberapa peserta mengaitkan nasib Srintil dengan trauma sosial-politik Indonesia: bagaimana kekuasaan menghapus identitas lewat stigmatisasi, kekerasan, dan sunyi berkepanjangan.

“Yang paling menyakitkan bukan hanya ketika Srintil dihukum karena menjadi ronggeng,” ujar Yasin salah satu peserta, “tapi ketika ia dihukum atas sesuatu yang bahkan tidak ia pilih.”

Sastra Sebagai Pengingat Luka

Ahmad Tohari menulis dengan gaya bahasa yang sederhana namun menyimpan kedalaman simbolik. Penuh aroma pedesaan, nada melankolis, dan kritik sosial yang tidak menggurui.

Bagi komunitas Wahana Baca, membaca Ronggeng Dukuh Paruk bukan hanya menyelami novel, tapi juga mengingatkan bahwa banyak “Srintil” lain di luar sana yang tubuh dan pikirannya masih dijajah atas nama adat, agama, negara, atau keluarga.

Menjelang akhir diskusi, Galuh menutup dengan mengajak peserta melihat Srintil bukan lagi sebagai tokoh, tapi sebagai korban trauma psikis.

“Srintil pada akhirnya mengalami keterasingan total. Ia kehilangan cinta hingga rasa percaya dirinya. Srintil berusaha menjadi perempuan yang utuh di tengah masyarakat yang hanya melihatnya sebagai ronggeng. Namun, setiap kali ia mencoba menjadi manusia biasa, dunia menariknya kembali sebagai simbol. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama