Ode untuk Aksi Kamisan

 


Setiap hari kamis sore seorang perempuan berusia senja berdiri di depan istana. Ia tidak sendiri, tetapi bersama dengan teman-temannya yang rata-rata seumuran. Perempuan tersebut bernama Maria Sumarsih. Saya mengenalnya dari Aksi Kamisan Jakarta, meski tidak mengenalnya dengan akrab, tapi pernah mendengarkan beliau bercerita mengenai anaknya.


Kamis demi kamis telah Ibu Sumarsih lewati, ia masih setia berdiri di sana, tempat sang Presiden bekerja. Selama hampir belasan tahun Ibu Sumarsih telah berdiri di sana. Ia berdiri sejak fisiknya masih prima sampai menjadi renta karena dimakan usia. Ia masih berharap agar ada kejelasan tentang siapa yang membunuh anaknya yang bernama Wawan. Di mana sampai hari ini beliau tidak pernah melihat lagi senyum ceria anaknya, sejak ia pamit pada tahun 1998 lampau untuk beraktivitas bersama teman-temannya. 


Terhitung sejak tahun 1998  Ibu Sumarsih menunggu Wawan. Bahkan ia masih sempat menyiapkan makanan di meja, berharap ketika Wawan pulang langsung makan tanpa harus menunggu. Ia masih berharap anaknya pulang ke rumah, tersenyum kepadanya seperti puluhan tahun lalu saat ia pamit untuk keluar sejenak bersama teman-temannya. Tetapi ternyata, justru kabar duka yang ia dapatkan, Wawan telah pergi ke sang pencipta selamanya. Wawan ditembak saat memperjuangkan demokrasi untuk negeri ini.


Sampai saat ini Ibu Sumarsih bersama para orang tua yang anaknya hilang pada tahun 98 masih berdiri di depan istana, masih dengan tujuan yang sama, yakni hanya ingin mendapatkan kejelasan soal anaknya. Jika sang anak telah meninggal maka ia ingin Negara mengatakan kalau memang telah meninggal, lalu ia juga ingin tahu ada di mana jasadnya, agar dapat dikebumikan dengan layak. Mereka juga ingin tahu siapa gerangan yang telah membunuh dan menghilangkan anaknya. Siapa yang bertanggung jawab? Toh kalau mau memaafkan, siapa yang harus dimaafkan?


Itulah permintaan dari Ibu Sumarsih bersama para orang tua korban lainnya. Tidak muluk-muluk, hanya ingin tahu di mana anaknya sekarang bagi yang hilang. Sementara bagi yang telah meninggal, mereka cuma ingin tahu kejelasan siapa yang membunuh dan siapa yang harus bertanggungjawab. Mereka tentunya akan terus berdiri di depan istana negara setiap kamis, sembari tetap merawat harapan bahwa kabar tentang anaknya akan segera terang.


Cerita serupa Ibu Sumarsih bersama para orang tua korban lainnya, juga pernah saya dengar dari Ibu Misiati Utomo, hari-harinya ia habiskan dalam kesepian, menunggu dan terus menunggu sang anak Bimo Petrus Anugrah. Ia terus menunggu kabar sang anak hingga menghembuskan napas terakhirnya. Hari-harinya telah ia lewati dengan menunggu dan menunggu, sembari berusaha bersama sang suami Pak Utomo untuk mencari keadilan mengenai di mana keberadaan sang anak.


Sama halnya dengan Ibu Sumarsih, semasa hidupnya Ibu Misiati ingin tahu kejelasan mengenai nasib anaknya yang hingga hari ini belum terang. Terakhir berjumpa dengan Bimo tahun 1998, saat ia berpamitan untuk pergi ke Jakarta bergabung bersama teman-temannya untuk memperjuangkan demokrasi yang telah lama direnggut oleh rezim Orde Baru Soeharto. Semenjak itu, tidak ada lagi kabar dari Bimo. Ia hilang bak ditelan bumi.


Cerita di atas hanya sepenggal kisah bagaimana seorang ibu yang menanti anaknya, yang memilih jalan sunyi memperjuangkan demokrasi. Tanpa Wawan dan Bimo, serta lain-lainnya, mustahil akan ada reformasi 98 yang menandai tumbangnya rezim otoritarian, serta memunculkan harapan baru bernama demokrasi. Di mana semua orang berimajinasi bahwa akan ada perubahan, tidak ada lagi pembungkaman, dan semua orang dapat berpartisipasi dalam penentuan nasibnya.


20 tahun lebih reformasi bergulir, cita-cita luhur itu belum benar-benar terwujud. Janji-janji menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu masih berjalan di tempat. Orang-orang yang dahulu menjadi kroni kekuasaan nyatanya hingga saat ini masih melenggang bebas. Bahkan mereka semakin sulit dijangkau, karena berdiri di atas pondasi kekuasaan. Mereka kembali memegang kendali atas Negara ini. 


Semangat Ibu Sumarsih, Ibu Misiati dan para orang tua lainnya adalah pendorong bagi lahirnya aksi kamisan. Sebuah aksi yang tidak ada kepentingan apapun, kecuali menyuarakan tentang apa itu kebenaran. Aksi Kamisan lahir dari semangat itu. Ia sebagai wadah bagi mereka yang mengalami situasi serupa, rumah bagi orang-orang yang telah dirampas haknya. 


Kamisan akan terus ada selama kebenaran belum terungkap. Selama hak asasi manusia masih menjadi kata-kata penghias dalam pidato maupun kertas-kertas akademis sampai kertas kebijakan bahkan aturan-aturan yang dibuat oleh Negara. Hal itu semua menandakan bahwa demokrasi saat ini masih sakit, tentu jangan berharap akan ada kebenaran yang akan diungkap. 


Terakhir, meminjam semangat Ibu Sumarsih dan mendiang Ibu Misiati serta aksi kamisan selama ini. Perjuangan itu butuh waktu, juga butuh banyak teman dan penyemangat. Bagi kita orang-orang biasa yang tidak punya kuasa, apalagi yang bisa dilakukan kecuali bersolidaritas dan bersama-sama bergerak. "Jangan diam, lawan!!" adalah pekikan ajakan untuk terus bersuara, menyuarakan kebenaran yang selalu ditutup-tutupi oleh penguasa.



*Penulis pernah aktif bergiat di Aksi Kamisan Surabaya 2017-2019














Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama